Legenda atau cerita rakyat tentang kisah Si Pahit Lidah sangat terkenal di Sumatera. Khususnya di Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Sebutan Si Pahit Lidah diberikan ke Pangeran Serunting yang memiliki kesaktian yang luar biasa.
Belum ada keterangan, kapan terjadinya kisah ini bermula. Namun, kisah yang sangat populer ini mengalir dari generasi ke genarasi hingga saat ini. Jejak kisahnya sejak lama ada di buku-buku cerita dan pelajaran di sekolah, dan saat ini sudah bisa dengan mudah dibaca di laman dunia maya.
Mengutip dari laman resmi Ditjen Kebudayaan, kebudayaan.kemdikbud.go.id, terdapat dua pola cerita yang membedakan kisah legenda ini menjadi dua versi.
Versi pertama, kisahnya mengambarkan kehidupan Pangeran Serunting bersama istrinya dan adik iparnya yang bernama Aria Tebing. Di sini, pertentangan tokoh Serunting Sakti dengan Aria Tebing menjadi bumbu perselisihan dalam hubungan antara kedua tokoh dalam cerita ini.
Muara dari perserteruan dua tokoh ini menjadi penyebab Serunting Sakti mengasingkan dirinya dari kehidupan sosial hingga akhirnya mendapatkan kesaktian.
Setelah keluar dari pengasingan dan kembali ke dalam kehidupan masyarakat. Kesaktian Serunting Sakti memiliki pengaruh positif dan negatif. Sisi buruk dari kesaktian lidah Serunting Sakti membuat setiap perkataannya yang mengucapkan sumpah terhadap orang, hewan dan benda, berubah menjadi batu.
Sisi baiknya, kesaktian Serunting Sakti telah membantu sepasang suami istri yang tidak memiliki keturunan hingga akhirnya memiliki keturunan yang berasal dari sehelai rambut mereka. Selain itu, Serunting Sakti mampu merubah daerah yang gersang dan tandus menjadi hutan belantara yang lebat.
Kisah versi edua, memiliki kisah dengan jalan cerita tentang pertempuran adu kesaktian antara Si Pahit Lidah dengan Si Mata Empat. Si Pahit meninggal akibat tipu muslihat Si Mata Empat. Demikian juga Si Mata Empat, menemui ajalnya akibat keracunan lidahnya Si Pahit.
Secara umum, itulah pola cerita dan legenda yang beredar luas di kalangan masyarakat Sumatera ini. Meski demikian, di kehidupan masyarakat daerah Besemah, ternyata memiliki versi cerita sendiri tentang kisah Si Pahit Lidah. Beberapa kisah yang dituturkan memiliki orientasi cerita yang dipengaruhi latar tinggalan megalitik yang ada di daerah mereka.
Seperti penuturan cerita yang disampaikan oleh Pak Idriansyah dari Desa Tanjung Telang, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Di Desa Tanjung Telang ini berdiri sebuah situs megalitik yang berada di lingkungan sekolah SMP Merapi Barat, Kabupaten Lahat. Pak Idriansyah menyebut, dari cerita orangtuanya, situs arca itu dinamai Batu Puteri atau “Batu Beteri” dalam Bahasa setempat. Batu Puteri ini merupakan adik dari si pahit lidah.
Zaman dahulu, kebiasaan masyarakat menjemur padi di daerah ini dilakukan di pinggir kampung. Tidak boleh menjemur padi dilakukan ditengah-tengah kampung. Sementara daerahnya berada di dataran yang tinggi, antara kampung dengan tempat menjemur padi dipisahkan oleh sungai.
Pada saat si Puteri sedang menjemur padi, si Pahit Lidah sedang berada di rumah. Si Putri ternyata sangat lama pergi menjemur padi, sementara hari telah menjelang magrib. Si Pahit Lidah tanpa ia sadari telah berucap, “Kemanalah adikku ini, apa sudah menjadi batu”.
Setelah sekian lama menunggu adiknya yang belum juga pulang ke rumah, sang kakak ini akhirnya keluar rumah dan menuju tempat adiknya menjemur padi. Saat sampai di tempat menjemur padi, dia pun memangil-mangil adiknya, tetapi tidak jawaban. Setelah terus mencari, Si Pahit Lidah pun menemukan adiknya. Namun, di luar sepengetahuannya, apa yang telah diucapkannya telah menjadi nyata, dimana sang adik telah berubah menjadi batu.
Itulah legenda Si Pahit Lidah yang awalnya dari kisah masyarakat di Sumatera, kini sudah meluas ke seluruh Nusantara, bahkan dunia. (Foto: Dok.Ditjen Kebudayaan Kemdikbud)