Masyarakat Melayu Siak, Riau telah lama mengenal Ghatib Beghanyut, sebuah tradisi berdzikir dengan berlayar di atas perahu mengikuti arus sungai.
Tradisi khas masyarakat Melayu di Siak ini bertujuan sebagai tolak bala, yaitu untuk menghindari malapetaka, penyakit, atau kejadian buruk.
Dilansir dari budaya-data.kemdikbud.go.id, Ghatib Beghanyut berasal dari kata “ghatib” berasal dari bahasa Arab yang berarti dzikir. Sedangkan “beghanyut” dalam bahasa lokal berarti hanyut.
Tradisi Tolak Bala
Tradisi ini dilaksanakan jamaah masjid, mushalla, dan warga Muslim di daerah Siak, Mempura, dan Bukitbatu (Kabupaten Bengkalis). Tujuannya menghindari malapetaka, penyakit, atau kejadian buruk yang dapat menimpa seseorang maupun masyarakat.
Menurut sejarah, pada masa Kesultanan Siak, tradisi ini bermula ketika ada suatu perkampungan yang dilanda wabah penyakit menular.
Kemudian, untuk mengatasi hal ini, masyarakat bersama ulama berzikir di sepanjang Sungai Jantan, berharap semua bala keluar menuju laut dan kampung kembali aman.
Pelaksanaan Ghatib Beghanyut
Ritual ini biasanya digelar pada malam hari setelah shalat Isya, setiap bulan Safar, di Sungai Jantan. Lokasinya dimulai dari Pelabuhan Lasdap hingga Feri Penyebrangan Belantik di Desa Langkai, Siak.
Sebanyak 30 perahu mesin digunakan, masing-masing berisi sekitar 10 orang.
Sebelum ritual dimulai, peserta mengenakan pakaian serba putih dan melakukan ziarah ke makam Sultan Siak di samping Masjid Syahbuddin. Di sana, mereka berdoa dan berzikir bersama, dipimpin ulama atau penghulu setempat.
Seorang penghulu dibantu sangko penghulu, malim penghulu dan lelo. Setelah persiapan selesai, semua peserta naik ke perahu masing-masing. Biasanya peserta yang naik ke perahu dikhususkan untuk kaum laki-laki.
Dzikir dimulai dengan lantunan takbir dipimpin seorang ulama, diikuti seluruh jamaah. Mereka berzikir di atas perahu yang bergerak perlahan menyusuri sungai, memohon perlindungan dari bencana dan harapan keselamatan dunia akhirat.
Prosesi ini dulu disertai dengan tabur bunga dan persembahan sesajen ke sungai. Namun, dengan masuknya ajaran Islam, praktik ini ditinggalkan karena dianggap syirik.
Setelah selesai berlayar, ritual diakhiri dengan makan bersama dan doa penutup.
Atraksi Budaya dan Wisata
Tradisi Ghatib Beghanyut ini sempat terlupakan, namun dihidupkan kembali oleh pemerintah daerah sejak tahun 2012. Tujuannya selain sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya dan penggalakan wisata religius di Kabupaten Siak.
Kegiatan ini telah menjadi agenda tahunan yang dinantikan masyarakat. Bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai simbol kekuatan spiritual dalam menjaga keselamatan dan harmoni komunitas, juga untuk mempromosikan desa.
Saat ini Ghatib Beghanyut lebih sering dilakukan sebagai atraksi budaya dan wisata. Namun, kepercayaan akan kekuatan ritual ini dalam menolak bala tetap hidup di kalangan masyarakat.
Kegiatan ini telah menjadi agenda tahunan yang dinantikan masyarakat, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai simbol kekuatan spiritual dalam menjaga keselamatan dan harmoni komunitas.