Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, dan tak hanya rempah-rempah yang menjadi incaran dunia internasional. Salah satu tanaman yang menjadi buruan warga Arab sejak ratusan tahun lalu adalah kamper atau kapur barus, yang diyakini memiliki khasiat spiritual dan kesehatan karena disebut dalam Al-Qur’an, tepatnya pada Surat Al-Insan ayat ke-5.
Dalam ayat itu, disebutkan bahwa orang-orang yang berbuat kebajikan akan diberi minuman yang bercampur air kafur, yang sebagian ulama diartikan sebagai ekstrak dari tanaman kapur barus.
Melansir dari cnbcindonesia.com, kamper yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah bahan kimia sintetis yang umum digunakan sebagai pewangi atau pengusir serangga masa kini.
Tanaman kapur barus sejati merupakan tumbuhan alami bernama Latin Dryobalanops aromatica, yang mengeluarkan aroma khas dan dikenal karena manfaatnya bagi kesehatan tubuh.
Baca Juga: Pesta Siaga 2025 Wonosobo, Teguhkan Komitmen Membangun Karakter Generasi Muda
Tanaman ini tidak tumbuh di tanah Arab, sehingga masyarakat di wilayah Timur Tengah harus mencarinya ke daerah yang jauh di luar wilayah mereka.
Dalam catatan sejarah, diketahui bahwa pusat tanaman kamper berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera.
Salah satu lokasi penghasil kapur barus yang termasyhur adalah Barus, atau dahulu disebut Fansur.
Informasi ini terungkap melalui penelitian arkeolog Edward McKinnon dalam karya bertajuk Ancient Fansur, Aceh’s Atlantis (2013), yang menunjukkan adanya jaringan perdagangan antara dunia Arab dan Nusantara sejak masa lampau.
Bukti lain tentang eksistensi Barus sebagai penghasil kamper tercatat dalam berbagai karya para penulis dan ahli geografi Arab.
Ibn Al-Faqih, seorang pedagang dari dunia Islam, mencatat pada tahun 902 bahwa Fansur adalah wilayah yang menghasilkan kapur barus, pala, cengkih, dan kayu cendana.

Sementara itu, Ibn Sa’id al-Maghribi pada abad ke-13 menyebutkan secara rinci bahwa kapur barus berkualitas tinggi berasal dari Sumatera.
Bahkan, jauh sebelumnya, Ptolemy, seorang ahli geografi dari Romawi, telah menuliskan nama Barus pada abad ke-1 Masehi.
Informasi tentang lokasi penghasil kamper ini mendorong banyak warga Arab, terutama para pedagang, untuk menempuh perjalanan jauh ke wilayah Nusantara.
Mereka membawa kapal-kapal besar dari Teluk Persia, melewati Sri Lanka, hingga akhirnya tiba di pantai barat Sumatera.
Kapur barus asal Barus terkenal karena mutunya yang unggul, bahkan mengalahkan kualitas kamper dari wilayah Malaya dan Kalimantan.
Hal inilah yang membuat Barus tumbuh menjadi pelabuhan penting dalam perdagangan lintas samudra.
Tak hanya menjadi pusat perdagangan, Barus juga menjadi gerbang awal masuknya Islam ke Nusantara.
Seiring berjalannya waktu, para pedagang Arab yang rutin mengunjungi Barus tidak hanya berdagang, tetapi juga memperkenalkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Dalam proses ini, beberapa di antara mereka bahkan memilih untuk menetap.
Penyebaran Islam kemudian menyebar ke wilayah lain seperti Thobri (Lamri) dan Haru.
Salah satu bukti fisik dari penyebaran awal Islam ini adalah kompleks makam kuno Mahligai di Barus, yang mencantumkan batu nisan dari abad ke-7 Masehi.
Baca Juga: Nasi Kebuli, Tradisi Masakan Arab yang Melekat di Indonesia
Munculnya jejak Islam di Barus telah memunculkan teori bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui jalur barat, yakni melalui perdagangan di wilayah Sumatera.
Meski teori ini masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan, keberadaan para pedagang Muslim di Barus menunjukkan peran penting mereka dalam perdagangan lintas wilayah.
Mereka membentuk jaringan dagang yang menghubungkan Indonesia dengan dunia Arab.
Melalui aktivitas itu, Nusantara mulai dikenal di kancah internasional sejak masa lampau.
Kisah pencarian kamper oleh warga Arab pun mencerminkan lebih dari sekadar minat terhadap tanaman yang disebut dalam kitab suci, tetapi juga menjadi bagian penting dari sejarah panjang interaksi budaya dan penyebaran agama Islam di Indonesia. (Diolah dari berbagai sumber)