Di Dusun Lamuk, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo, ada seorang pengrajin Bundengan bernama Yatno.
Yatno adalah pengrajin alat musik bundengan, yang merupakan salah satu instrument musik legendaris dan tradisional khas Wonosobo.
Ia bukan sekadar pembuat bundengan, tetapi juga inovator yang menghadirkan sentuhan baru pada alat musik khas Wonosobo ini.
Awal Perjalanan Menjadi Pengrajin Bundengan
Yatno pertama kali mengenal bundengan sekitar tahun 2016. Ketika itu, ia diperkenalkan pada alat musik ini oleh seorang seniman tari bernama Mulyani.
“Ia meminta saya untuk membuat bundengan dan menunjukkan gambarnya sebagai referensi,” kenangnya.
Meskipun awalnya belum sempurna, ia terus mencoba hingga akhirnya mendalami pembuatan bundengan langsung dari seorang ahli di Wonosobo, Mahrumi.
Baca Juga: Monitoring Posko Lebaran, Bupati Wonosobo Pastikan Arus Mudik Tetap Terkendali
“Saya belajar di sana selama kurang lebih tiga hari,” tambahnya.
Seusai belajar dari Mahrumi, Yatno mulai bisa membuat bundengan sendiri.
Ia pun berusaha menciptakan bundengan dengan bentuk yang lebih halus dan rapi dibanding model lama.
“Bundengan dulu sering terlihat kurang seimbang dengan alat musik lain saat di panggung, jadi saya berinisiatif membuat finishing yang lebih rapi, bahkan saya menggunakan pernis agar mengkilap,” jelasnya.

Proses Pembuatan Bundengan
Dalam pembuatan bundengan, Yatno lebih memilih menggunakan bambu hitam atau bambu wulung dibanding bambu putih biasa.
“Saya ingin ada kontras warna antara putih dan hitam,” ujarnya.
Sementara itu, untuk bagian atap yang biasanya menggunakan slumpring atau pelepah bambu, ia menggantinya dengan bambu yang telah dikupas agar tampilannya lebih cerah dan estetik.
Proses pembuatan bundengan memerlukan ketelitian tinggi dan waktu yang cukup lama.
“Bisa memakan waktu enam hingga tujuh kali lebih lama dari bundengan biasa,” katanya.
Jika tanpa gangguan, satu bundengan dapat diselesaikan dalam waktu sekitar satu minggu.
Secara umum, proses pembuatan bundengan melibatkan beberapa tahap:
- Memotong bambu dan mengupas bagian kulitnya.
- Membersihkan slumpring atau pelepah bambu dengan air.
- Menyusun dan menganyam bambu hingga membentuk bundengan.
- Menggunakan tali ijuk untuk mengikat bagian atap bundengan.
- Memernis bundengan agar lebih menarik dan mengkilap.
Pemasaran Bundengan hingga ke Luar Negeri
Bundengan buatan Yatno kini telah dikenal luas. Ia telah memasarkan karyanya ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta.
Bahkan, bundengan buatannya juga telah dipesan oleh pelanggan dari Solo.
“Melalui Bu Mulyani, bundengan saya sudah sampai ke luar negeri,” ungkapnya bangga.
Di Wonosobo sendiri, pelanggan setianya adalah Bu Mulyani yang sangat aktif melestarikan musik tradisional ini.
Harga satu bundengan buatannya pun cukup bersaing, yakni sekitar Rp1.500.000 untuk model dengan kualitas halus, lengkap dengan alat musik dan finishing yang mengkilap.

Baca Juga: Candi Dwarawati, Jejak Sejarah di Tengah Ladang Kentang Dieng
Harapan untuk Masa Depan
Sebagai seorang pengrajin, Yatno berharap generasi muda semakin tertarik dengan bundengan.
Ia ingin alat musik tradisional ini terus berkembang dan berkolaborasi dengan berbagai genre musik.
“Saya berharap anak muda bisa berinovasi dan melestarikan bundengan agar tetap eksis di masa depan,” harapnya.
Dengan dedikasi dan kecintaannya pada bundengan, Yatno telah berkontribusi besar dalam melestarikan warisan budaya Indonesia.
Semangatnya dalam mengembangkan alat musik ini menjadi inspirasi bagi banyak orang, khususnya bagi mereka yang ingin menjaga kelangsungan seni tradisional di tengah perkembangan zaman.