Bila ada pertanyaan siapa nama paling terkenal dalam dunia musik Keroncong Indonesia? Nama Waldjinah adalah satu jawaban paling populer.
Penyanyi spesialisasi keroncong-langgam Jawa ini bahkan dikenal dengan julukan “Ratu Keroncong”. Walang Kekek dan Jangkrik Genggong dua tembang hits keroncong yang dipopulerkannya.
Penyanyi kelahiran Solo, 7 November 1945 ini mengawali karier sejak menjadi juara kontes menyanyi bertajuk Ratu Kembang Katjang pada tahun 1958.
Dari usia 12 tahun Waldjinah sudah menyanyi dari kampung ke kampung. Saat beryusia 14 tahun, dia juga berhasil merebut juara harapan pertama Lomba Bintang Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.
Dilansir dari tokoh.id, Ia mengaku tak pernah belajar vokal secara khusus. Ia banyak belajar dengan cara mendengarkan radio. Di samping itu, ia juga belajar dari sang ibu yang selalu mengantarkan tidur dengan tembang-tembang.
Album Pertama
Pada tahun 1959 di bawah Lokananta, sebuah label yang berlokasi di kota Solo, ia menyanyikan lagu Kembang Katjang. Lagu itu dimuat dalam sebuah album kompilasi bersama dua penyanyi lain, yakni S Bekti dan S Harti. Saat itu usianya baru genap 14 tahun
Lima tahun berselang, ia kembali merekam suaranya di Lokananta menyanyikan sebuah langgam Jawa yang menjadi sangat terkenal, yaitu Yen Ing Tawang Ana Lintang karya Anjarani.
Kesempatan untuk membuat album solo dengan namanya sendiri baru datang tahun 1967, yaitu album Ngelami-lami. Album itu memuat lagu Langensari. Sesudah itu, namanya benar-benar berkibar setelah merilis lagu Walang Kekek.
Lagu Walang Kekek direkam perusahaan rekaman Elshinta, Jakarta tahun 1968. Lagu yang berhasil melejitkan namanya itu tidak diketahui penggubahnya. Waldjinah hanya menciptakan liriknya yang berisi sindiran untuk diri sendiri.
Terhitung sejak tahun 1968 hingga 1972, ia produktif membuat sekitar 20 album. Diantaranya yaitu Jangkrik Jenggong, Ayo Ngguyu, O Sarinah, Mathuk Thok, Pak-e Thole, Tanjung Perak, Enthit, E Jamune, dan Sugeng Riyadi.
Dalam lagu-lagunya, Waldjinah banyak menyentil persoalan asmara. Misalkan saja dalam salah satu lagunya yang berjudul Tepo Tulodo. Lewat lagu itu, ia hendak menyampaikan pesan kepada kaum hawa agar menjadi perempuan cerdas dan mandiri, jangan hanya bergantung pada orang lain.
Ciri Khas Cengkok Jawa
Ciri khas Waldjinah adalah cengkok Jawa yang didapat dari kebiasaannya menembang macapat semasa kecil. Selain itu, ia juga akrab dengan vokal pada karawitan Jawa. Dalam mempelajari kelal-kelok suara, dia mengaku belajar dari Nyi Podang.
Ia juga sering menjadi pengisi acara di pagelaran wayang kulit. Meski demikian, ia menolak jika disebut sebagai pesinden. Alasannya, ia tak mau cara menyanyi langgamnya rusak karena artikulasinya berbeda dengan menyinden.
Untuk melestarikan langgam Jawa dan lagu-lagu keroncong, ia tak pelit untuk menularkan ilmunya kepada siapa saja, khususnya generasi muda. Salah satunya Joanna Dudley, seorang penyanyi asal Australia yang bermukim di Jerman.
Waldjinah juga memberikan pelatihan bernyanyi keroncong untuk anak-anak usia sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas di rumahnya. Menurutnya, keroncong itu memesona dan menghipnotis.
Prestasi Waldjinah
Kiprahnya selama puluhan tahun banyak diapresiasi, antara lain Anugerah Seni Jateng 2002, Penghargaan Putri Solo dari Paku Buwono XII 2003, dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 2006.
Pada tahun 2013, dari Anugerah Musik Indonesia dia menerima penghargaan sebagai Legend Award. Selain itu, salah satu karyanya yang bertajuk Penglipur Wuyung mendapatkan penghargaan sebagai Karya Produksi Keroncong/Keroncong Kontemporer/Langgam/Stambul Terbaik, dari Anugerah Musik Indonesia pada tahun 2017.
Hingga tahun 2000, ia sudah menghasilkan sedikitnya 100 album dari berbagai label dan menyanyikan sekitar 1600 lagu. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Waldjinah masih memiliki misi besar untuk melestarikan musik keroncong. Ia masih bersemangat, kala mendapatkan undangan untuk menghadiri suatu acara, utamanya acara budaya.