Legenda Si Pitung adalah salah satu cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Betawi. Cerita ini telah menginspirasi banyak karya sastra dan film.
Salah satu karya paling terkenal adalah buku “Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api” serta esai berjudul “In Search of Si Pitung: The History of an Indonesian Legend” yang ditulis sejarawan asal Belanda, Margreet van Till.
Karya-karya ini menelusuri lebih dalam tentang tokoh Si Pitung yang diyakini sebagai pahlawan masyarakat Betawi dan bukan sekadar mitos belaka.
Si Pitung, yang dikenal dengan nama asli Ahmad Nitikusumah, muncul pada abad ke-19 dan menjadi sosok legendaris yang berperan sebagai “Robin Hood” Indonesia.
Legenda ini juga menjadi bagian dari pop kultur melalui film “Si Pitung” (1970), yang dibintangi Dicky Zulkarnain. Meskipun ada banyak versi cerita Si Pitung, tulisan ini akan mengangkat versi Indonesia yang melihatnya sebagai pahlawan pembela rakyat Betawi.
Asal Usul Si Pitung
Melansir dari CNN Indonesia, Si Pitung lahir di Jakarta pada tahun 1886, tepatnya pada masa penjajahan Belanda. Ia merupakan anak dari pasangan Bang Piung dan Mak Pinah, yang tinggal di daerah Rawabelong dan memiliki nama asli “Salihoen”.
Sejak kecil, Si Pitung dikenal sebagai pribadi yang berakhlak baik, suka menolong, dan memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Ia bersekolah di Pondok Pesantren Haji Naipin, tempat ia mendapatkan pendidikan agama yang kuat.
Keahlian bela dirinya kelak akan menjadi bekal utama dalam perjuangannya. Pada usia 15 tahun, Si Pitung diberi tugas ayahnya untuk menjual seekor kambing di Pasar Tanah Abang.
Setelah berhasil menjual kambing, ia mendapatkan uang 25 gulden. Namun, perjalanan pulangnya berubah tragis ketika ia dihadang komplotan bandit Belanda dan Tionghoa yang merampas uangnya.
Merasa sangat marah dan kecewa, Si Pitung berniat membalas dendam kepada para perampok itu. Ketika bertemu dengan komplotan yang terdiri dari enam pemuda, Si Pitung berhasil mengalahkan mereka dengan kemampuan bela dirinya.
Terkesan dengan keberaniannya, komplotan bandit itu mengajaknya untuk bergabung.
Bergabung Komplotan Bandit
Meskipun awalnya menolak, Si Pitung akhirnya setuju untuk bergabung dengan komplotan bandit dengan syarat bahwa hasil rampokan akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Si Pitung ingin menggunakan keahliannya untuk melawan penjajahan dan ketidakadilan yang dilakukan para tuan tanah dan pemerintah kolonial. Aksi perampokan pertama mereka dilakukan di rumah Haji Saipudin, tuan tanah asal Bugis, Sulawesi Selatan.
Si Pitung dan komplotannya menyamar sebagai petugas pemerintahan Belanda untuk mencuri uang Haji Saipudin yang disimpan di kantor Maester Cornelis. Dengan cerdik, mereka berhasil melaksanakan perampokan tanpa menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang.
Pelarian dan Pengejaran
Dilansir dari Wikipedia, setelah aksi perampokan pertama yang berhasil, Si Pitung dan komplotannya terus melakukan serangkaian perampokan. Kabar tentang aksi mereka pun terdengar di kalangan masyarakat dan pihak berwenang.
Si Pitung menjadi buronan utama, dan hadiah uang sebesar 400 gulden diumumkan bagi siapa saja yang dapat menangkapnya. Meskipun terus diburu, Si Pitung tidak mudah tertangkap.
Ia memiliki ilmu bela diri yang sangat andal dan bahkan dipercayai memiliki kesaktian yang membuatnya selalu berhasil lolos dari pengejaran. Pencarian terhadap Si Pitung dipimpin Kepala Polisi Kolonial, A.W. Van Hinne, yang dibantu informan-informan dari masyarakat.
Akhirnya, setelah melalui serangkaian penyelidikan, Van Hinne berhasil menangkap Si Pitung di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Akhir Hidup Si Pitung
Setelah tertangkap, Si Pitung berusaha melarikan diri, namun ia ditembak polisi di bagian kaki. Dalam keadaan lemah, Van Hinne menembaknya lagi dan kali ini peluru menembus dada Si Pitung.
Dengan kepergiannya, hilanglah sosok pahlawan yang menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kolonal dan tuan tanah di masyarakat Betawi.
Setelah kematiannya, Si Pitung dimakamkan di TPU Kebon Jeruk, Jakarta. Meskipun ia sudah tiada, makamnya terus dijaga warga Betawi, yang menganggapnya sebagai pahlawan untuk keadilan.
Dari cerita Si Pitung, ada beberapa pesan moral yang bisa diambil diantaranya Si Pitung mengajarkan kita tentang pentingnya niat mulia dalam bertindak.
Meskipun ia melakukan tindakan yang melanggar hukum, niatnya adalah untuk membela orang-orang yang tertindas karena penjajahan dan ketidakadilan.
Si Pitung menunjukkan bahwa kebaikan hati, keberanian, dan keahlian yang dimiliki seseorang dapat digunakan untuk tujuan yang lebih besar demi kesejahteraan orang banyak.
Namun, pesan moral utama adalah bahwa meskipun niat baik, tindakan yang tidak sesuai dengan hukum tetap tidak bisa dibenarkan. (Diolah dari berbagai sumber)