Penutup kepala tradisional perempuan Jambi yang dikenal dengan nama Kuluk Beselang Mertuo, memiliki makna mendalam yang terpatri dalam budaya masyarakat Melayu Jambi.
Kuluk, yang dibuat melalui lilitan kain, masih sering digunakan para ibu-ibu di beberapa daerah seperti Kabupaten Bungo, Kerinci, Tebo, dan Sarolangun, khususnya dalam berbagai upacara adat.
Sejarah dan Perkembangan Kuluk
Dilansir dari laman indonesia.go.id, tradisi mengenakan kuluk sudah dikenal di Jambi jauh sebelum penyebaran agama Islam di wilayah itu pada sekira abad ke-7.
Kala itu, perempuan Melayu di daerah Jambi biasa mengenakan penutup kepala berbentuk seperti turban, yang kemudian disebut Kuluk Beselang Mertuo.
Seiring waktu, keberadaan kuluk menjadi bagian penting dalam kehidupan perempuan Jambi, baik sebagai pelindung kepala dalam aktivitas sehari-hari maupun sebagai simbol status sosial.
Menurut sejarah, setiap kerajaan Melayu memiliki jenis tengkuluk atau kuluk tersendiri. Suku Batin yang mendiami Sarolangun, Merangin, dan Kerinci tercatat memiliki koleksi tengkuluk terbanyak.
Baca juga: Malam Berinai, Tradisi Sebelum Akad Pernikahan Melayu Jambi
Macam-Macam Kuluk dan Filosofinya
Bentuk kuluk tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, melainkan memiliki makna filosofis yang berbeda sesuai bentuknya.
- Kuluk Kembang Duren, dikenakan gadis Jambi sebagai simbol kecantikan dan kesucian perempuan muda.
- Kuluk Pengajian, dipakai perempuan sudah berumur ketika menghadiri acara keagamaan, seperti pengajian atau pergi ke masjid, yang mencerminkan ketaatan mereka terhadap ajaran Islam.
- Kuluk Kuncup Melati dikenakan khusus perempuan yang belum menikah ketika menari atau menyambut tamu dalam upacara adat, sebagai simbol kesederhanaan dan keramahan.
- Kuluk Ketelang Petang atau Kuluk Ke Umo, digunakan perempuan yang tinggal di kawasan pegunungan atau daerah pesisir pantai. Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga keranjang rotan atau bambu yang digunakan untuk membawa hasil kebun atau kayu dari sawah.
- Kuluk Daun Manggis dikenakan para penari dari Muaro Bulian, Kabupaten Batanghari, dan menjadi simbol kekayaan hayati daerah Jambi yang dahulu dikenal sebagai penghasil manggis. Selain itu, kuluk ini juga melambangkan ketulusan hati dalam menjunjung adat istiadat.
- Kuluk Mayang Terurai memiliki ciri khas berupa rumput panjang yang menjuntai menyerupai rambut, sesuai dengan makna kata “mayang.” Kuluk ini biasanya dikenakan istri atau anak pemangku adat dalam acara adat.
- Kuluk Daun Pandan Berlipat digunakan istri pemangku adat dalam upacara adat di Desa Tabir, Kabupaten Bungo. Lipatan kuluk yang menyerupai daun pandan ini mencerminkan kekuatan seorang pemimpin yang bijaksana tanpa menunjukkan kesombongan.
Selain itu, dalam pemakaian kuluk, posisi kain yang menjuntai juga memiliki arti tersendiri. Kain yang menjuntai ke kanan menandakan pemakainya sudah menikah, sedangkan kain menjuntai ke kiri menunjukkan pemakainya masih lajang.
Pemakaian Kuluk Beselang Mertuo
Mengutip dari budaya-indonesia.org, dalam penggunaannya Kuluk Beselang Mertuo dilengkapi pakaian adat khas Jambi, seperti kebaya songket, sarung songket, kalung tapak kudo bungo matahari, gelang pilin, dan kerabung bungo matohari.
Kalung tapak kudo bungo matahari sendiri memiliki makna mendalam, yaitu simbol keterikatan seorang wanita dalam pernikahan yang harus berlandaskan ajaran agama Islam.
Kalung ini dibuat dari emas dengan teknik filigree dan granular, dihiasi motif tapak kudo serta bunga melati yang melambangkan kesucian.
Sementara itu, selendang songket berwarna merah yang melengkapi pakaian kuluk melambangkan keberanian seorang perempuan dalam berbicara dan bersikap bijak.
Seiring perkembangan zaman, tren fesyen telah memodifikasi penggunaan kuluk. Jika dulunya kuluk digunakan secara tradisional dalam upacara adat, maka kini ia mulai dimodifikasi menjadi hijab atau turban yang lebih praktis dan sederhana. (Diolah dari berbagai sumber)