Tallas Kamase-masea.
Begitulah prinsip hidup yang dianut komunitas Suku Kajang. Mereka menjauh dari gaya hidup mewah.
Dalam menjalani hidup ini mereka senantiasa penuh kesungguhan untuk ‘hidup sederhana’. Selain teguh memegang adat tradisional, juga menutup diri dari modernisasi.
Dilansir dari Indonesia.go.id, Suku Kajang menetap di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Desa Tana Toa sendiri terletak sekitar 200 kilometer arah Timur Kota Makassar.
Secara geografis, daerah Suku Kajang terbagi menjadi dua, yakni Kajang Dalam atau yang mereka sebut ‘tau Kajang’ dan Kajang Luar atau yang disebut ‘tau Lembang’.
Batas antara Kajang Dalam dan Kajang Luar ditandai pintu gerbang berarsitektur khas Kajang.
Peraturan Adat Masyarakat Suku Kajang
Hingga kini, orang Kajang Dalam tidak tersentuh aliran listrik dan pakaian mereka identik dengan warna hitam. Selain itu, mereka juga tidak menggunakan alas kaki (sandal).
Dalam sistem perkawinanya, mereka terikat adat, di mana harus menikah dengan sesama suku Kajang. Bila tidak, pasangan itu harus tinggal di luar wilayah suku.
Uniknya, mereka tidak mengenal strata sosial atau hierarki. Ini terlihat dari hunian/tempat tinggal mereka yang seragam walaupun ada rumah ammatoa (pimpinan adat tertinggi).
Melansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, ammatoa bukan dipilih karena garis keturunan. Melainkan, ditunjuk melalui proses ritual di dalam hutan Tonbolo atau hutan keramat yang disebut Turiek Akrakna (yang berkehendak).
Amma artinya ‘bapak’, sedangkan toa berarti yang ‘dituakan’. Bagi masyarakat Kajang, ammatoa adalah orang suci yang dipilih langsung oleh Tuhan yang Maha Esa. Ammatoa mendapatkan jabatan seumur hidup. Artinya, ammatoa akan menjabat sampai meninggal dunia.
Baca juga: Pakaian Adat Suku Asmat Papua, Dari Alam untuk Manusia
Kehidupan Sosial Suku Kajang
Dikutip dari Kompas.com, Kepercayaan yang dianut oleh Suku Kajang adalah agama Islam. Dalam bahasa konjo disebut “Sallang”, dan Tuhan yang diyakini untuk disembah adalah Allah atau dalam bahasa Konjo di sebut “Turie’ A’ra’na”
Dalam pemberian nama, mereka tidak diperkenankan menggunakan nama malaikat, nabi, atau nama kebesaran Allah, karena karena dianggap akan menimbulkan kedurhakaan dan menanggung dosa.
Sedangkan bahasa yang digunakan Suku Kajang adalah bahasa Makassar yang berdialek Konjo. Saat berbicara, suku ini sangat menjunjung tinggi adab dan kesopanan.
Keunikan dan Kesederhanaan Rumah Kajang
Meski bentuk bangunan Suku Kajang, sebetulnya hampir sama dengan bentuk rumah adat Suku Bugis-Makassar yang berbentuk rumah panggung, namun memiliki keunikan tersendiri.
Perbedaannya adalah setiap rumah di Suku Kajang seragam dan menghadap ke arah barat. Hal ini memiliki makna bahwa apabila membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercaya mampu memberi berkah.
Selain itu, warga Suku Kajang tidak boleh dibangun dengan batu bata dan tanah, melainkan kayu. Bagi mereka, membangun rumah dengan batu bata dan tanah merupakan pantangan.
Selain itu, penggunaan batu bata juga dinilai merusak hutan. Karena untuk membuat batu bata memerlukan kayu bakar yang banyak untuk pembakarannya.
Tradisi Andingingi dalam Mengelola Alam
Tradisi adat menarik yang digelar tiap tahun oleh warga Kajang adalah ritual andingingi.
Secara harfiah Ritual andingingi berarti ‘mendinginkan’. Itu merupakan tradisi warga untuk memohon keselamatan dan keberkahan dalam mengelola sumber daya alam seperti pertanian dan perkebunan.
Selain itu, ritual tersebut dipercaya pula mampu mendatangkan hujan guna mengairi lahan pertanian masyarakat, sehingga panen optimal.