Upacara Erau, sebuah acara adat yang sarat makna sakral dan ritual, merupakan pesta budaya tahunan yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Sebagai salah satu warisan budaya tak benda, Upacara Erau telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Kutai selama ratusan tahun.
Prosesi ini pertama kali dilaksanakan Aji Batara Agung Dewa Sakti, Raja Kutai Kartanegara pertama, yang mengadakan upacara ini setelah diangkat sebagai Raja pada tahun 1300-1325 Masehi.
Sejak saat itu, Erau menjadi simbol pergantian raja dan perayaan besar bagi masyarakat.
Makna di Balik Erau
Melansir dari Wikipedia, kata Erau sendiri berasal dari bahasa Kutai, yaitu eroh, yang berarti ramai, ribut, atau suasana yang penuh sukacita. Upacara ini bertujuan untuk menepungtawari atau membersihkan tanah, air, hutan, serta menghormati sang Raja yang memimpin.
Masyarakat Kutai percaya, melaksanakan upacara ini, kemakmuran dan kebahagiaan akan tercapai.
Meskipun zaman telah berkembang, upacara Erau tetap dilaksanakan setiap tahun, bertepatan dengan ulang tahun Kabupaten Tenggarong pada tanggal 29 September, dan sejak 2016 diakui sebagai Warisan Budaya Tak Berbenda.
Tiang Ayu: Simbol Penutupan Erau
Salah satu prosesi yang wajibdalam rangkaian upacara Erau adalah merebahkan Tiang Ayu.
Tiang Ayu sendiri adalah sebuah tombak pusaka yang panjangnya mencapai dua meter, dengan kantung kain kuning yang menyematkan kelengkapan ritual.
Tombak pusaka ini, bernama Sangkoh Piatu, adalah milik Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang hanya digunakan dalam acara-acara sakral kerajaan.
Kantung kuning pada Tiang Ayu berisi berbagai simbol, seperti tali juwita, kain cinde, janur kuning, daun sirih, dan buah pinang, yang semuanya memiliki makna ritual khusus.
Prosesi Sakral yang Dimulai dengan Ritual
Melansir dari kukarpaper.com, ritual merebahkan Tiang Ayu dimulai sekitar pukul 10 pagi, saat matahari mulai tinggi.
Prosesi dimulai dengan duduknya para pangkon laki dan pangkon bini (abdi dalem pria dan wanita) yang berjajar di sayap kanan dan kiri Ruang Stinggil.
Di tengah ruangan, Sultan dan kerabat kesultanan duduk menghadap Tiang Ayu. Dewa (wanita pengabdi ritual) dan belian (pria pengabdi ritual) turut duduk di sisi kanan dan kiri Sangkoh Piatu, yang terbaring di atas kasur kuning.
Pada saat Sultan hadir, empat orang kerabat kesultanan berjajar di sisi Tiang Ayu, dan Sangkoh Piatu digoyangkan tiga kali, seolah menumbangkan sebuah pohon.
Ritual Tepung Tawar dan Penutupan Erau
Setelah Sangkoh Piatu direbahkan, dewa melaksanakan ritual tepong tawar di sekeliling Tiang Ayu.
Ritual ini melibatkan penyapuan air tepong tawar pada punggung tangan, dahi, kepala, lutut, dan betis Sultan, serta menyapu wajah dan kepala dengan air kembang.
Ritual ini tidak hanya dilakukan pada Sultan, tetapi juga pada putra mahkota, kerabat kesultanan, serta tamu kehormatan yang hadir.
Proses ini menjadi simbol penutupan acara Erau dan sekaligus penyerahan kembali adat kepada Sultan sebagai pemegang adat tertinggi di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Simbol Kehormatan dan Kekuatan Sultan
Sebagai penutupan prosesi, seluruh kerabat kesultanan, dewa, belian, dan pangkon memberikan selamat serta sembah hormat kepada Sultan dan putra mahkota.
Proses merebahkan Tiang Ayu menjadi simbol bahwa seluruh adat dan kekuatan kembali berada di tangan Sultan, yang menjadi penjaga dan pemegang amanat adat tertinggi di kerajaan.
Prosesi ini, yang sudah berusia sekitar 700 tahun, tidak hanya menjadi upacara penutupan, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas berkah yang diterima selama ini. (Diolah dari berbagai sumber)