Tari piring merupakan tari tradisional yang berasal dari daerah Solok, Sumatera Barat. Salah satu keunikan dari tari ini adalah propertinya yang menggunakan piring.
Membahas kebudayaan Indonesia tidak akan ada habisnya. Termasuk salah satu tarian dari Sumatera Barat, yaitu Tari Piring. Pertunjukan tari piring digelar untuk menarik para wisatawan dan sebagai sarana untuk melestarikan budaya yang ada di Indonesia.
Tari Piring bermula dari tarian yang dilaksanakan pada saat upacara kesuburan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Setelah agama Islam masuk ke Minangkabau, tarian ini tidak lagi digunakan sebagai ritual.
Meskipun demikian, tetap dipertunjukkan sebagai ungkapan rasa syukur sesuai kepercayaan masing-masing. Selain itu juga digunakan sebagai hiburan, penyambutan tamu, hingga pementasan upacara adat.
Dalam tarian ini, para penari akan membawa sesaji di dalam piring-piring dan menari. Hingga kemudian piring-piring tersebut digunakan sebagai properti. Gerakan pada tari piring sendiri memiliki makna filosofis dari kehidupan dan budaya Minangkabau.
Tari piring memiliki banyak keunikan yang membuatnya menarik untuk dilihat. Keunikan tersebut diantaranya sebagai berikut: Gerakan tari piring dikatakan unik karena setiap geraknya memiliki makna tertentu. Karena dulunya digunakan sebagai ungkapan rasa syukur, maka gerakan yang dilakukan menyerupai tahapan dalam menanam padi.
Misalkan gerakan seperti mencangkul, menyemai, gerak menabur benih, gerak menanam, gerak mengambil padi, gerak gotong royong, hingga gerak melepas lelah dan lainnya.
Keunikan lainnya yaitu pada gerakan tangan. Supaya piring tidak jatuh, maka properti hanya diletakkan di telapak tangan lalu digenggam. Selanjutnya tangan akan diayunkan dan memutar mengikuti irama musik
Menari Di Atas Pecahan Piring
Salah satu ciri khas dari tarian ini adalah propertinya menggunakan piring. Pada saat dulu, piring yang digunakan didatangkan langsung dari Cina karena dinilai memiliki pola kesenian yang tinggi. Namun, saat ini piring yang dipakai adalah piring porselen atau keramik.
Mulanya piring tersebut merupakan sesaji yang diisi berbagai makanan untuk melakukan ritual ucapan rasa syukur. Namun dengan masuknya Islam, piring kemudian dijadikan sebagai properti.
Para penari tari piring akan mengenakan cincin di tangannya. Sembari menari, mereka akan membenturkan cincin pada piring sehingga menimbulkan bunyi yang unik. Suara dentingan ini seirama dengan musik yang dimainkan.
Para penari harus bisa menjaga keseimbangan antara gerakan, kecepatan, serta posisi piring agar tidak terjatuh. Nantinya, di babak akhir tarian, penari akan melempar piring tersebut ke lantai sehingga pecah berkeping-keping kemudian akan menari di atasnya.
Sedangkan untuk alat musik yang untuk mengiringinya adalah alat musik tradisional, seperti talempong, saluang, rebana, gong, dan lain lain. Musik yang digunakan adalah musik penayuhan. Mulanya musik akan diawali dengan tempo lembut dan teratur, lalu lama kelamaan tempo menjadi lebih cepat.
Busana tari piring juga memiliki keunikan tersendiri. Pakaian yang dikenakan berbeda antara penari pria dan wanita. Secara umum, para penari mengenakan pakaian berwarna cerah dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan serta tutup kepala. Untuk penari wanita memakai baju kurung yang terbuat dari kain satin dan beludru. Pada bagian kiri badan mengenakan hiasan berupa selendang yang terbuat dari kain songket. Untuk bagian kepala mengenakan penutup kepala yang bentuknya menyerupai tanduk Busana yang digunakan penari pria disebut rang mudo.
Pakaian ini berupa lengan panjang yang dihiasi dengan renda emas, celana besar dibagian tengahnya. Hiasannya berupa kain songket yang dililitkan di pinggang. Untuk penutup kepala, penari pria mengenakan destar. Kesenian tari yang unik ini pantas untuk dijaga kelestariannya. (Anisa Kurniawati-Berbagai sumber)