Rosihan Anwar, kerap disebut sastrawan lima zaman, mulai dari zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Di usia senjanya, dia masih aktif menulis, bahkan pada detik akhir hayatnya dia sedang merampungkan memoar kehidupan cintanya dengan sang isteri tercinta berjudul Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.
Lahir 10 Mei 1922, di Kubang Nan Duo, Solok, Sumatera Barat, Rosihan Anwar merupakan anak keempat dari pasangan Gelar Maharadja Soetan dan Siti Safiah. Ayahnya bekerja sebagai pegawai Bumiputra Hindia Belanda berpangkat Asisten Demang.
Rosihan Anwar menempuh pendidikan formal di HIS (Holland Inlandsche School) dan MULO (Meer Uitgbreid Lager Onderwijs) di kota Padang. Setamat MULO, Rosihan melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) di Yogyakarta (lulus 1942) dan memilih bidang Klasik Barat.
Baca juga:Jejak Sitor Situmorang, Maestro Sastra Indonesia
Figuran Film
Kesastrawanannya bermula ketika ia memublikasikan puisi-puisinya di berbagai media massa antara lain, di surat kabar Asia Raya, Merdeka, dan majalah mingguan politik dan budaya Siasat. Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961).
Pada masa perjuangan, ia pernah disekap penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia. Kemudian pada tahun 1961, koran Pedoman miliknya dibredel penguasa karena dianggap menjadi corong Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Saat itu, ia dianugerahi Bintang Mahaputra Utama atas pengabdiannya sebagai wartawan senior. Namun beberapa bulan setelahnya, Soeharto mencabut izin harian Pedoman menyusul terjadinya peristiwa Malari, 15–16 Januari 1974.
Pasca pembredelan surat kabarnya, Rosihan merepresentasikan diri sebagai koresponden media asing pada Forum World Features (London, 1966-1968), mengisi kolom tamu di Straits Times (Singapura 1976-1981), New Straits Times (Kuala Lumpur, Malaysia 1976-1981), dan Asiaweek (Hongkong 1979).
Profesi ini terhenti tahun 1980-an, ketika adanya kebijakan redaksional untuk lebih memfungsikan para wartawannya. Kemudian, dia mengisi berbagai kolom media, seperti buletin Business News, Surat kabar Kompas, Sinar Harapan, Tempo, dan media lainnya di Indonesia.
Disamping itu, Rosihan Anwar aktif di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan menjabat Ketua Umum PWI (1970–1973), Ketua Pembina PWI Pusat (1973–1978), serta Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983–2011).
Selain menulis, pada 1950, bersama Usmar Ismail ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Film pertamanya adalah Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, ia mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya.
Baca juga: Emha Ainun Nadjib: Sastrawan, Budayawan dan Tokoh Inspiratif
Bermain Film
Selama hidupnya, Rosihan Anwar kaya dengan karya yang memiliki tema beragam, mulai dari politik hingga dunia hiburan. Beberapa diantaranya yaitu Petite Histoire Indonesia (7 Jilid), In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002); Sukarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006); Sutan Sjahrir Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya (2011).
Beberapa karya Puisinya yaitu, keyakinan, Mari Kumandangkan Indonesia Raya, Manusia Baru, Pulang Berjasa, Musafir, Kini Abad Rakyat Jelata, Bukan Mimpi dan lainnya. Selain itu, ia pernah bermain dalam flm Lagi-Lagi Krisis (1956), Big Billage (1970), Karmila (1975), Tjoet Nja’ Dien (1987-1988), serta Sandiwara Mahkamah (1989).
Rosihan Anwar menjadi anggota Dewan Film Nasional (DFN) sejak tahun 1977, Ketua Dewan Pembina Persatuan Perusahaan Film Indonesia (1986-1989), serta Ketua Dewan Kehormatan (1989-1992). Ia juga penghasil karya puisi, penulis cerita pendek, kisah-kisah perjalanan, dan otobiografi.
Pada usia 89 tahun pada pukul 08.15 WIB Kamis, 14 April 2011, Rosihan Anwar menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit MMC Jakarta. Sastrawan legendaris ini dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Kamis, 14 April 2011. (Dari Berbagai sumber)