Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan eksistensi suku Kaili (suku yang tinggal di Sulawesi Tengah dan sebagian kecil di Sulawesi Barat).
Kota berpenduduk 378.764 jiwa (per 8 Februari 2023) ini, sekarang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi, padahal wilayah ini dahulu merupakan lembah yang dikenal sebagai Teluk Kaili.
Dalam perjalanan sejarahnya, Palu telah menjadi rumah bagi berbagai sub-etnis Kaili antara lain To-Sigi, To-Biromaru, To-Banawa, dan To-Kulawi. Masing-masing sub-etnis memiliki dialek tersendiri, dengan dialek Ledo sebagai yang paling umum digunakan. Nama “Kaili” sendiri diyakini berasal dari nama pohon besar yang menjadi tanda daratan bagi pelaut yang memasuki Teluk Kaili.
Melansir dari bpmpsulteng.kemdikbud.go.id, sejarah lisan mencatat, masyarakat Kaili awalnya tinggal di pegunungan sekitar Teluk Kaili. Di abad ke-8 hingga ke-9, Sawerigading, tokoh epik La Galigo yang populer di kalangan masyarakat Bugis, pernah singgah di tanah Kaili. Kunjungan ini membawa hubungan dagang antarakerajaan lokal, seperti Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi, yang kian menguatkan kedudukan suku Kaili dalam jaringan perdagangan Nusantara.
Teluk Kaili yang luas dahulu membentang dari Desa Bangga di barat hingga Desa Bora di timur, membentuk lembah yang kini dikenal sebagai Lembah Palu. Seiring waktu, air di teluk ini surut, menjadikannya dataran luas dan membuka jalan bagi berkembangnya peradaban masyarakat Kaili di daratan yang baru terbentuk. Pada abad ke-16, wilayah ini telah berkembang menjadi sebuah kerajaan, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Palu.
Baca juga: Rumah Adat Banua Oge, Simbol Kejayaan Kerajaan Palu
Pada abad ke-18, intelektual Belanda mulai menggunakan nama “Palu,” merujuk ke lembah yan dikenal sebagai Teluk Kaili. Nama ini mungkin berasal dari lokasi baru yang dipilih para penduduk untuk menetap setelah bergeser dari Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pindah ke dataran rendah, didirikanlah permukiman di Boya Pogego, yang menjadi cikal bakal kota Palu.
Palu pada awalnya gabungan empat kampung utama yaitu Besusu, Tanggabanggo (Kamonji), Panggovia (Lere), dan Boyantongo (Kelurahan Baru). Bersama-sama, mereka membentuk Dewan Adat, Patanggota, yang berperan dalam memilih raja dan mengelola urusan adat dan pemerintahan.
Kerajaan Palu berkembang menjadi salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh cukup besar di wilayah ini, yang kemudian menarik perhatian Belanda. Bangsa penjajah Belanda pertama kali tiba di Palu pada masa pemerintahan Raja Maili (Mangge Risa) pada tahun 1868.
Kedatangan Belanda bertujuan untuk memperkuat pengaruh mereka di Sulawesi Tengah dengan mencari perlindungan dari Manado. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk wilayah Sulawesi datang bersama bala tentara dan kapal perang, menyerang Kayumalue (Perang Kayumalue).
Setelah pertempuran, Raja Maili terbunuh. Posisinya digantikan Raja Jodjokodi, yang kemudian menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Mei 1888. Inilah yang menandai awal era kolonialisme di Palu.
Baca juga: Monumen Nosarara Nosabatutu, Ikon Perdamaian Di Palu
Masyarakat Kaili selai dikenal karena sejarah dan kebudayaannya, tetapi juga memiliki filosofi hidup unik yang memandang tubuh bagai dunia kecil yang mencerminkan apa yang terjadi di alam semesta. Bagi mereka, tubuh adalah kumpulan “catatan hidup” yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Bahasa Kaili sendiri, dalam pemaknaan lingual, berakar dari kata “no-Kaili,” yang berarti “mengaliri.” Ini menggambarkan filosofi bahwa tubuh, seperti aliran air dari hulu ke hilir, terus memberikan kehidupan dan membawa pengalaman baru.
Sejarah panjang Kota Palu, bersama dengan kebudayaan suku Kaili, memberikan identitas yang kuat bagi masyarakat lokal hingga hari ini. Meskipun masyarakat Kaili awalnya tidak menganut budaya tulis, warisan dan nilai-nilai mereka tetap hidup melalui tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Palu telah menjadi simbol kekuatan budaya yang mengalir, seperti arti dari kata “Kaili” itu sendiri, melampaui berbagai tantangan yang dihadapinya sepanjang sejarah.
Kota Palu yang kita kenal saat ini bukan sekadar ibu kota Sulawesi Tengah, melainkan sebuah lambang peradaban dan identitas yang terus bertumbuh di antara pegunungan dan lembah. Suku Kaili dan sejarahnya telah memberikan fondasi yang kokoh bagi Palu sebagai kota yang kaya akan warisan budaya dan sosial bagi masyarakatnya. (Diolah dari berbagai sumber).