Legenda Rawa Baya adalah cerita rakyat yang menceritakan tentang perjanjian damai antara manusia dengan buaya putih yang tinggal di Rawa Baya, Cipari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Cerita ini dikisahkan Umi Farida dalam bukunya “Cerita Rakyat Jawa Tengah: Kabupaten Cilacap” (2017).
Cerita ini berlatar belakang zaman penjajahan Belanda, di mana sebuah kampung kecil di sekitar Rawa Baya hanya dihuni lima sampai sepuluh kepala keluarga. Kampung ini dikelilingi rawa yang lebat, tumbuh-tumbuhan yang subur, dan suasana yang tampak menyeramkan.
Keberadaan rawa membuat kampung itu terisolasi, menyebabkan perekonomian masyarakat stagnan karena mereka hanya bergantung pada sektor pertanian. Selain itu, kampung ini hanya memiliki satu jalan keluar-masuk, yaitu melalui rawa yang menakutkan.
Di tengah rawa, terdapat kedung (bagian sungai yang terbendung) besar yang dalam. Dikenal dengan nama Kedung Jero. Konon, kedung ini dihuni sepasang buaya besar yang bukan sembarang buaya. Setiap kali ada yang mengganggu mereka, maka kemalangan akan menimpanya.
Baca juga: Keindahan Hutan Payau Cilacap di Tepi Segara Anakan
Buaya Putih
Suatu hari, Kartanom, seorang penduduk setempat, memutuskan untuk mengunjungi saudaranya di Desa Gayamsari untuk memberitahukan kabar pernikahan putrinya. Meskipun merasa cemas karena harus melewati rawa, Kartanom tetap nekat menggunakan sampan untuk melintas.
Ketika ia mendekati Kedung Jero, suasana semakin mencekam, dan tiba-tiba terdengar suara cipratan air yang mengerikan. Kartanom terkejut ketika melihat sepasang buaya putih muncul dari dalam air, yang kemudian berubah menjadi sepasang suami istri yang berpakaian seperti bangsawan.
Salah satu Buaya itu mendekati Kartanom dan mengajaknya membuat perjanjian damai. Mereka ingin manusia dan buaya saling menghormati wilayah masing-masing, khususnya rawa dan Kedung Jero.
Kartanom yang ketakutan hanya bisa mengangguk setuju, dan buaya putih itu berpesan agar ia menyampaikan kepada warga kampung. Setelah mendengar pesan itu, rasa takut Kartanom perlahan menghilang, dan ia pun melanjutkan perjalanannya ke tepi rawa dengan selamat.
Baca juga: Legenda Ki Pande Gelang, Asal Nama Kota Pandeglang
Rawa Baya
Setibanya di sana, ia menceritakan pengalamannya kepada warga kampung. Ternyata, saudaranya di Gayamsari juga sering melihat buaya-buaya itu datang dan pergi, namun mereka hidup tenang karena saling menghormati dan tidak mengganggu ketenangan buaya.
Setelah Indonesia merdeka, kampung itu akhirnya dinamakan Rawa Baya, sebagai penghormatan terhadap sejarah perjanjian damai. Kampung ini pun berkembang pesat dengan adanya sekolah-sekolah, mushala, dan jalan-jalan yang diperbaiki.
Kemudian, atas musyawarah desa, kampung Rawa Baya resmi berganti nama menjadi Dusun Sidadadi, yang kini berada di wilayah Desa Mulyadadi, Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap. Meski begitu, daerah yang dahulu rawa dan memiliki Kedung Jero tetap dikenal sebagai Dukuh Rawa Baya hingga saat ini. (Diolah dari berbagai sumber)