Abah ‘Oemar Bakrie’ Landoeng, Saksi Mata Konferensi Asia Afrika
Abah Landoeng, salah satu saksi sejarah perhelatan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Tuugasnya ialah mengumpulkan mobil untuk para delegasi peserta KAA.
Abah ‘Oemar Bakrie’ Landoeng dalam perjuangannya mengumpulkan mobil tidaklah mudah. Pekerjaannya tersebut ia lakukan setelah mengajar pada sore hari. Abah Landoeng akan berkeliling ke beberapa tempat di Bandung untuk mencari mobil ditemani oleh sepeda onthelnya.
Selama dua minggu, Abah Landoeng mampu mengumpulkan 14 mobil dari berbagai penjuru kota Bandung. Mobil-mobil yang dikumpulkan terbilang mewah pada masanya, seperti Mercy, Dodge, dan Impala. Bagi Abah Landoeng, pemilik mobil yang rela mobil miliknya dipinjam menaruh kepercayaan penuh padanya. Para pemilik mobil memang mengenal Abah Landoeng sebagai seorang guru.
Ia mengumpulkan 14 mobil karena keterbatasan waktu. Namun, akhirnya mobil tersebut tanpa perlu disewa dikumpulkan bersama ratusan mobil lainnya untuk digunakan para geledasi selama KAA 1955 berlangsung. Selain itu, Presiden Sukarno pernah mentitahkan Abah Landoeng sebagai Pawang Hujan.
Selesainya KAA, Abah pun kembali menjadi seorang guru. Pada tahun 1963 ia diberangkatkan ke Malaysia atas permintaan Sukarno untuk memberantas buta huruf.
Pria yang kini telah memasuki usia senja ini juga pernah menjadi inspirasi dalam pembuatan lagu Oemar Bakrie yang dinyanyikan Iwan Fals. Lagu tersebut sangat populer terutama pada generasi 90-an, hingga sekarang masih sering dinyanyikan.
Biografi Singkat Abah Landoeng
Abah Landoeng lahir di Bandung pada 11 Juli 1926. Ia menempuh pendidikannya di Algemeen Metddelbare School (AMS) dikarenakan ayahnya merupakan seorang mandor yang turut serta dalam pembangunan Gedung Sate.
Saat muda, ia biasa bekerja sebagai pengambil bola di lapangan golf dan tenis. Dari pekerjaannya, sen demi sen dikumpulkan untuk membeli beras dan sembako.
Pada tahun 1942, setelah lulus dari AMS, Landoeng muda berkeliling Kota Bandung dengan sepeda kumbangnya. Ia akan bertanya kepada tukang panggul atau petani yang ditemuinya, apakah mereka bisa membaca. Jika belum, Landoeng akan berhenti dan mengajar mereka membaca dengan papan tulis kecil dan kapur yang ia letakkan di sepeda kumbangnya.
Saat itu, Landoeng juga mengajari para saudagar kaya di Pasar Baru yang juga buta huruf. Dari situlah, ia biasanya mendapatkan makanan dan minuman.
Ia memperjuangkan pendidikan dengan cara mengajari para petani, kuli panggul, dan orang-orang lewat yang buta huruf ketika berkeliling menggunakan sepeda, secara tidak langsung orang-orang tersebut akan diajarkan membaca.
Pada saat kemerdekaan, Abah diangkat menjadi guru di SMPN 4 Bandung. Namun, walaupun statusnya Guru, ia tetap ikut andil dalam perang melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Setelah perang kemerdekaan, tahun 1950 ia diberangkatkan ke Malaysia untuk memberantas buta huruf.
(Anisa Kurniawati-Diskominfo Kota Bandung)