“Kamus Kawi-Indonesia” yang disusun oleh Prof. Drs. Wojowasito, menyatakan kata “Batang” memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah (1) plataran, (2) tempat yang dipertinggi, (3) dialahkan, dan (4) kata bantu bilangan. Dalam konteks bahasa Indonesia, termasuk bahasa Melayu, “batang” merujuk pada sungai.
ementara itu, dalam “Kamus Jawa-Indonesia” karya Prawiroatmojo, istilah ini berarti terka atau tebak. Mengingat arti-arai tersebut dan relevansinya dengan kondisi geografi saat ini, istilah yang paling tepat untuk menggambarkan lokasi yang kita kenal sekarang adalah “plataran” atau platform yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dataran di sekitarnya, baik ketika dilihat dari puncak pegunungan di sekitarnya maupun dari arah laut Jawa.
Ada juga sebuah legenda yang cukup terkenal mengenai asal-usul nama Batang, yang berasal dari kata “Ngembat” dan “Watang,” yang berarti mengangkat batang kayu. Legenda ini berakar dari peristiwa kepahlawanan Ki Ageng Bahurekso, yang dianggap sebagai cikal bakal nama Batang. Berikut adalah kisahnya:
Diceritakan, saat Mataram sedang mempersiapkan lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan beras bagi para prajurit yang akan menyerang Batavia, Ki Ageng Bahurekso ditugaskan untuk membuka hutan Roban dan menjadikannya sebagai lahan sawah. Namun, dalam proses tersebut, banyak rintangan yang harus dihadapi.
Para pekerja penebang hutan sering mengalami sakit, bahkan ada yang meninggal, yang diduga akibat gangguan dari jin, setan, dan siluman penjaga hutan Roban yang dipimpin oleh raja mereka, Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, ia berhasil mengalahkan raja siluman tersebut, sehingga gangguan-gangguan itu pun berakhir, meskipun dengan syarat bahwa para siluman tersebut harus mendapat bagian dari hasil panen.
Setelah hutan Roban di bagian barat berhasil ditebang, tugas berikutnya adalah mengurus sistem pengairan untuk lahan yang telah dibuka. Namun, proses ini juga tidak luput dari gangguan. Gangguan utama berasal dari raja siluman bernama Kolo Dribikso, yang terus merusak bendungan yang telah dibuat untuk menaikkan air dari sungai Lojahan, yang kini dikenal sebagai sungai Kramat.
Melihat kondisi ini, Bahurekso langsung turun tangan dan menyerang semua anak buah raja Uling yang berkumpul di sebuah kedung sungai. Korban pun berjatuhan dari pihak Uling, dan darah yang mengalir membuat kedung tersebut berwarna merah kehitaman, yang kemudian dikenal dengan nama Kedung Sigowok.
Raja Uling yang marah melihat banyaknya anak buahnya yang binasa pun menyerang Bahurekso dengan pedang Swedang terhunus. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, ia berhasil mengalahkan raja tersebut. Namun, masalah belum sepenuhnya teratasi. Setelah diteliti, aliran air dari bendungan tersebut tidak selalu lancar; terkadang besar, terkadang kecil, bahkan tidak mengalir sama sekali. Akhirnya ditemukan bahwa ada sebuah batang kayu besar yang menghalangi aliran air. Puluhan orang dikerahkan untuk mengangkat batang tersebut, tetapi usaha itu tidak berhasil.
Akhirnya, Bahurekso mengambil alih tugas tersebut. Dengan memusatkan seluruh kekuatan dan kesaktiannya, ia berhasil mengangkat batang kayu besar itu dan dalam sekali gerakan mematahkannya. Peristiwa inilah yang melahirkan nama “Batang,” yang berasal dari istilah “ngembat watang,” yang berarti mengangkat batang kayu. Masyarakat setempat kemudian menyebutnya “Mbatang” sesuai dengan dialek mereka.
Dari penjelasan sumber lisan dan legenda tersebut, kita dapat memperkirakan bahwa peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, antara tahun 1613 hingga 1628. Penyerangan pertama ke Batavia terjadi pada tahun 1628, sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa persiapan itu sudah dimulai sejak awal pemerintahan Sultan Agung, yaitu pada tahun 1613.
Nama Batang pun terbilang muda dan baru dikenal. Dalam “Majalah Karya Dharma Praja Mukti”, terdapat tulisan yang disampaikan oleh Kusnin Asa, yang menyebutkan bahwa nama Batang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit sebagai kota pelabuhan. Dalam hal ini, nama Batang diambil dari kata “BATA-AN,” di mana “Bata” berarti batu dan “AN” berarti satu atau pertama.
Berdasarkan penjelasan Bapak Suhadi BS, BA dalam naskah pengantar lambang daerah Batang, nama Batang sudah dikenal sejak para pedagang Tionghoa banyak berguru agama Buddha ke Sriwijaya. Batang saat itu dikenal dengan nama “Batan” sebagai kota pelabuhan yang sejaman dengan Pemaleng (Pemalang) dan Tema (Demak). (Achmad Aristyan – Sumber: profil.batangkab.go.id)