Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, adalah sebuah wilayah yang kaya akan keanekaragaman tradisi dan budaya. Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat ini dikenal dengan keindahan alamnya yang dikelilingi bukit-bukit dan hutan sawit. Jalan menuju desa-desa di Lamandau seringkali terasa seperti perjalanan di pegunungan, menawarkan pemandangan yang menakjubkan.
Di kabupaten itu tinggal suku Dayak, khususnya Dayak Tomun. Suku itu terkenal dengan gaya hidup berburu dan berladang yang masih dipraktikkan hingga kini. Rumah panggung dari kayu ulin, ciri khas suku Dayak, adalah pemandangan yang umum di wilayah ini. Beberapa di antaranya, digunakan sebagai lumbung padi yang dikelola bersama.
Selain itu, masyarakat Dayak di Lamandau juga memproduksi mandau, senjata tradisional yang digunakan untuk berburu. Mayoritas masyarakat Dayak di Lamandau menganut agama Kaharingan, sebuah kepercayaan asli suku Dayak sebelum masuknya agama-agama besar ke Kalimantan. Kaharingan, yang berarti “tumbuh” atau “hidup”, adalah pusat dari berbagai ritual adat, termasuk upacara pengorbanan ternak seperti babi atau ayam, yang darahnya dialirkan pada pohon yang dianggap suci.
Kebiasaan menginang, mirip tradisi nginang (atau menyirih) di Jawa, masih dipraktikkan sebagian masyarakat Dayak. Tradisi ini menggunakan daun sirih, kapur sirih, tembakau, kencur, dan buah pinang sebagai bahan utama, dan menariknya, mereka yang menginang biasanya tidak merokok seumur hidupnya.
Meski ada orang masih merasa canggung untuk berinteraksi dengan orang Dayak karena perbedaan budaya. Kenyataannya, masyarakat Dayak sangat terbuka terhadap orang lain yang ingin mempelajari kebudayaan mereka.
Festival Babukung
Demi menjaga dan melestarikan warisan budaya Dayak, terutama Dayak Tomun, Pemerintah Kabupaten Lemandau pun mengadakan Festival Babukung untuk merayakan kehidupan dan kematian dalam harmoni. Perayaan budaya unik ini diadopsi dari tradisi kematian masyarakat Dayak Tomun.
Diadakan setiap tahun di Nanga Bulik, ibu kota Kabupaten Lamandau, festival bertujuan melestarikan budaya Dayak Tomun sekaligus menghibur keluarga yang sedang berduka. Babukung, dalam tradisi Dayak Tomun, adalah upacara kematian yang menyatukan roh para leluhur dalam tarian dan doa. Namun, festival ini tidak hanya sebatas upacara kematian; ia telah berkembang menjadi ajang perayaan yang meriah, yang menghubungkan manusia dengan alam.
Festival Babukung pertama kali digelar tahun 2014, dan pada 8—10 Agustus 2024 lalu menandai perayaan yang kesepuluh kalinya. Bertema “Menjaga Tradisi, Merawat Bumi, Mengarungi Era Digitalisasi”, festival tidak hanya mempertahankan tradisi lama tetapi juga mengintegrasikan elemen-elemen modern untuk menarik perhatian generasi muda. Salah satu daya tarik utama dari Festival Babukung adalah karnaval topeng tradisional, yang dikenal sebagai Luha.
Baca Juga: Tradisi Tolak Bala Robo-Robo, Warisan Leluhur Kalimantan Barat
Dalam karnaval ini, para penari, yang disebut Bukung, mengenakan topeng dengan karakter hewan tertentu dan menari untuk menghibur keluarga yang berduka. Tradisi ini mencerminkan rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang kuat dalam masyarakat Dayak Tomun.
Selain karnaval Luha, digelar juga tari topeng, lomba menggambar dan mewarnai topeng. Rencananya, festival Babukung juga akan menampilkan pentas musik etnik, workshop tari dan ukir topeng, adventure trail, bazar produk UMKM, serta pertunjukan ritual suku Dayak yang eksklusif.
Momen puncak festival tahun ini adalah pemecahan rekor MURI untuk 1.000 Tatakup, sebuah prestasi yang menunjukkan betapa antusiasnya masyarakat dalam melestarikan tradisi mereka. Di sisi lain, Festival Babukung telah menjadi magnet bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, yang ingin menyaksikan keunikan dan keindahan budaya Dayak Tomun.
Bagi masyarakat Nanga Bulik dan sekitarnya, Festival Babukung bukan sekadar ajang hiburan, melainkan juga sebuah upaya menjaga dan mengangkat nilai-nilai budaya yang telah diwariskan leluhur mereka.
Pemkab Lamandau ingin, festival ini berhasil menarik perhatian generasi muda dan memperkenalkan mereka pada kekayaan warisan nenek moyang. Bagi masyarakat Dayak Tomun, festival ini adalah cara untuk menjaga jati diri mereka sekaligus merayakan kehidupan dalam harmoni dengan alam. (Sumber: Indonesia.go.id)