Di tengah era modern yang semakin jarang diisi generasi muda yang mau terjun ke sektor pertanian, Fuad Khasbiantoro menjadi sosok inspiratif. Lahir pada 22 Oktober 1996, pemuda asal Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah ini memilih profesi sebagai petani wortel.
Setelah menyandang gelar Sarjana Teknik, Fuad justru memutuskan untuk meneruskan perjuangan keluarganya dalam mengolah lahan pertanian di wilayah Desa Kejajar.
Fuad kemudian mengelola lahan seluas satu hektar yang ditanami sayuran wortel, hasil kerja sama dengan sistem bagi hasil dengan seorang pemilik lahan bernama Bu Siti.
Lahan itu telah menjadi tempat keluarga Fuad bercocok tanam sejak tahun 1990-an. Bersama sang ayah, Airno (62 tahun), Fuad tekun merawat tanaman wortel sebagai komoditas utama mereka.
Justru Menanam Wortel
Di daerah Kejajar dan Dieng, kebanyakan petani memilih menanam kentang. Namun, Fuad dan keluarganya lebih memilih wortel karena perawatannya lebih sederhana dan biayanya lebih hemat.
“Menanam wortel itu hanya membutuhkan modal sekitar 5-6 juta saja, sedangkan modal untuk menanam kentang bisa mencapai 50 juta per hektar,” kata Fuad.
Di sisi lain, tanaman wortel juga lebih tahan terhadap cuaca, terutama di musim hujan. Tanaman ini tidak memerlukan penyemprotan pestisida secara intensif seperti kentang.
Dalam masa tanam 90 hari, wortel lebih minim risiko kerusakan akibat cuaca buruk dibanding kentang yang rentan busuk.
Inovasi dalam Budidaya Wortel
Untuk menekan biaya produksi, Fuad dan keluarganya memanfaatkan pupuk organik cair (POC) yang mereka buat sendiri dari limbah rumah tangga seperti sisa nasi, sayur, dan buah.
“Kami mengolah sampah organik menjadi kompos padat dan cair. Ini sangat membantu menghemat biaya sekaligus menjaga kesuburan tanah,” ungkap Fuad. Hasil panen wortel mereka dijual dengan harga saat ini sekira Rp5.000 per kilogram.
Meski lebih murah dibanding kentang, keuntungan tetap memadai mengingat biaya produksi rendah.
Kepedulian terhadap Lingkungan Dieng
Sebagai petani yang tumbuh besar di Dieng, Fuad merasa prihatin dengan kondisi lingkungan di wilayahnya. Hutan yang gundul akibat perluasan lahan pertanian dan pembangunan pariwisata memicu bencana seperti banjir dan longsor.
“Pemerintah harus membuat aturan yang membatasi pembukaan lahan secara bebas, baik untuk pertanian maupun pembangunan wisata. Kalau tidak, kondisi tanah di Dieng akan semakin memprihatinkan,” tegas Fuad.
Ia juga mengkritisi kebiasaan buruk masyarakat yang sering membuang sampah di sungai, yang memperburuk masalah banjir. Menurutnya kebiasaan itu harus dihilangkan karena bisa berdampak buruk bagi lingkungan.
Fuad juga terlibat dalam komunitas Dieng Bersih yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan. Bersama komunitas Dieng Bersih, Fuad menyuarakan pentingnya tidak membuang sampah sembarangan dan mengolah sampah dengan baik.
“Di Dieng Bersih kami mensosialisasikan tentang bagaimana mengolah sampah dengan benar. Hal sederhana yang bisa dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan adalah memilah sampah dari rumah,”ungkap Fuad.
Komunitas Dieng Bersih sudah lebih satu tahu telah mengelola sampah organik untuk dijadikan pupuk, sedangkan sampah anorganik dikirim ke TPA untuk didaur ulang.
Pesan untuk Generasi Muda
Fuad berharap generasi muda tidak merasa gengsi menjadi petani. Ia menekankan pentingnya profesi ini bagi ketahanan pangan nasional.
“Petani itu pekerjaan yang sangat mulia. Kalau tidak ada petani, siapa yang akan menyediakan makanan kita? Jangan takut gagal, yang penting terus berusaha dan berdoa,” pesan Fuad.
Melalui kerja keras dan kesadaran lingkungan, Fuad Khasbiantoro membuktikan bahwa menjadi petani bukan hanya pekerjaan biasa, melainkan kontribusi besar untuk masyarakat dan alam. Ia menjadi contoh bahwa profesi petani dapat dilakukan dengan penuh kebanggaan dan inovasi, bahkan untuk generasi muda.