Gedung Nusantara Senayan atau lebih sering dikenal sebagai gedung DPR/MPR atau Gedung Kura-Kura merupakan bangunan bersejarah yang menjadi saksi perjalanan demokrasi di Indonesia. Terhitung, sebanyak 6 presiden dan 12 wakil presiden telah dilantik di gedung tersebut.
Setiap lima tahun sekali bangsa Indonesia menggelar pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif sebagai wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ketika terpilih, baik pasangan presiden-wapres maupun anggota legislatif di tingkat pusat, dilantik di Gedung Nusantara.
Gedung tersebut terletaknya di dalam Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD di Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ciri khas dari gedung ini yang selalu diingat oleh bangsa Indonesia, yakni memiliki atap kubah berbentuk seperti cangkang kura-kura.
Sejarah Gedung Nusantara Senayan
Sebelum ada Kompleks Parlemen Senayan, para wakil rakyat Indonesia beberapa kali berpindah lokasi. Pada November 1960-April 1965, Sidang Umum pertama hingga ketiga MPR Sementara (MPRS), menggunakan Gedung Soiceit Concordia di Bandung.
Ketika masih bernama DPR Gotong Royong (DPR GR), pusat kegiatannya berada di bangunan bekas Komando Urusan Asian Games (KUPAG) yang sekarang dijadikan kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Sejatinya, Kompleks Parlemen Senayan adalah bagian dari megaproyek pembangunan kawasan terintegrasi Senayan yang dicetuskan oleh Presiden pertama RI Soekarno, pada 8 Maret 1965. Kawasan ini menjadi pusat Games of the New Emerging Force (GANEFO) dan Conference of the New Emerging Force (CONEFO) yang diadakan pada 1964 dan 1966.
Soekarno pun menetapkan, Gelanggang Olahraga Senayan (sekarang Kompleks Gelora Bung Karno) digunakan sebagai pusat olahraga, dan Kompleks Parlemen Senayan merupakan bangunan politik berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 48 tahun 1965. Kedua kawasan ini letaknya didesain saling bersebelahan.
Menurut sumber dalam buku Selayang Pandang Gedung DPR, pada 19 April 1965, dilakukan pemancangan tiang pertama Gedung CONEFO, demikian nama awal dari Kompleks Parlemen Senayan. Kegiatan itu dilakukan oleh Presiden Soekarno disaksikan perwakilan negara-negara peserta KTT Asia Afrika.
Bung Karno meminta agar kompleks bangunan ini dibangun dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia dan harus mampu menjawab tantangan zaman ke depan. Soekarno juga yang memimpin langsung sayembara desain Gedung CONEFO memilih karya arsitek ternama saat itu, Soejoedi Wirjoatmodjo.
Desain awal Soejoedi menampilkan empat massa bangunan yang kini dikenal sebagai Gedung Nusantara, Nusantara II, Nusantara IV, dan Nusantara V. Menariknya, dalam desain asli karya Soejoedi, kompleks tersebut dilengkapi danau buatan agar tercipta unsur estetika untuk memantulkan bentuk kemegahan bangunan lewat bayangan dari permukaan danau. Sayangnya, danau buatan itu gagal terwujud.
Namun, pada 1965-1966 pembangunan Gedung CONEFO terbengkalai dikarenakan situasi politik, sebelum kemudian dilanjutkan kembali pada Juli 1967 sebagai proyek Kompleks Gedung Parlemen Senayan yang selesai 8 tahun kemudian.
Pada Mei 1998, puluhan ribu mahasiswa melakukan aksi menduduki Gedung Parlemen Senayan, ratusan dari mereka berupaya menaiki dan bertahan di atas kubah warna hijau selama beberapa hari. Aksi itu dihentikan karena dikhawatirkan meruntuhkan kubah. Karena sejak semula kubah tidak dirancang untuk menahan berat sehingga hanya berupa cor beton.
Keunikan lain dari gedung ini adalah bentuk tangga utama yang luas dan terbuka lebar pada bagian luar. Maknanya yaitu mencerminkan salah satu tradisi bangsa Indonesia dalam keramahannya menyambut tamu.
Khusus tamu VIP disiapkan akses pintu masuk pada bagian bawah tangga. Gedung kura-kura memiliki lima ruang untuk sidang komisi dan dua ruang cadangan. Gedung ini telah bertahan dalam usia lebih dari separuh abad sebagai saksi bisu sejarah demokrasi bangsa Indonesia sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi. (Anisa Kurniawati-Sumber: Indonesia.go.id)