Sitor Situmorang, penyair legendaris ‘Soekarnois’ merupakan sastrawan yang karya-karyanya penuh makna. Sitor lahir di Tananuli Utara, Sumatera Utara adalah sosok yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan sastra Indonesia.
Lahir di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1924, Sitor Situmorang adalah sosok yang sudah tak asing dalam dunia sastra Indonesia. Sitor merupakan Sastrawan Angkatan 1945 yang telah menjadi legenda. Menurut sejarawan JJ Rizal, Sitor merupakan sosok penting dalam kebudayaan Indonesia. Namanya setara dengan nama besar lain (melegenda) dalam kesusastraan Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer.
Sitor dilahirkan dengan nama Raja Usu di Harianboho, Toba Samosir (kabupaten pengembangan Tapanuli Utara). Dia mengenyam pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Batavia (Jakarta). Kemudian pada 1950-1952, Sitor merantau ke Amsterdam dan Paris. Lalu, ia mendalami ilmu sinematografi di Universitas California pada 1956-1957.
Bisa dikatakan menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak. Pilihannya menjadi penulis berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan “Waspada” sebuah harian nasional terbitan Kota Medan. Pada tahun 1950-an, ia berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens.
Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang yang dimuat di majalah Siasat pimpinan HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa.
Tetap Berkarya dalam Penjara
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, hal inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba, Jakarta selama 8 tahun tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Hingga keluar tahanan ia tak pernah tahu apa kesalahannya.
Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara ia tetap berkarya. Sitor berhasil merilis dua karya sastra, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni sebab ketika kemudian dibebaskan, ia harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.
Baca Juga: Buya Hamka: Sastrawan, Ulama dan Sosok Inspiratif
Sitor Situmorang akhirnya memilih menetap di luar negeri, di Paris. Kemudian sejak tahun 1981, ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991.
Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).
Selain itu, beberapa karyanya juga diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia. Karyanya yang berjudul, Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional 1955 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976.
Sitor Situmorang adalah salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap dunia sastra di Indonesia dan satu-satunya sastrawan angkatan 45 yang ketika usia 85 tahun masih produktif menulis puisi, esai, maupun cerita pendek.
Disambut Acara Dzikir Puisi
Pada tanggal 21 Desember 2014 di Belanda dalam usia 91 tahun, Situ Situmorang mengembuskan nafas terakhir karena usia lanjut. Jenazah penyair ‘Soekarnois’ ini dipulangkan ke tanah kelahiran sesuai wasiatnya pada 1 Januari 2015.
Jenazah Kepala Suku Sastrawan Angkatan 1945 ini diberangkatkan dari Belanda dan mendarat pada 29 Desember 2014 pukul 18.00 WIB di Bandara Soekarno-Hatta. Begitu tiba, jasad Sitor segera di bawa ke Galeri Nasional, Gambir dan disambut dalam acara dzikir puisi. Kemudian, jenazah Sitor di bawah ke tanah kelahirannya yakni di Harianboho, Pulo Samosir, Sumatera Utara untuk dimakamkan pada 1 Januari 2015. (Anisa Kurniawati-Sumber: tokoh.id)