Masyarakat Kampung Cireundeu, di Cimahi, Jawa Barat telah bertahan selama satu abad tanpa nasi. Sebagai gantinya, mereka mengonsumsi singkong sebagai ajaran warisan leluhur.
Sebuah papan petunjuk bertuliskan “Bale”, “Masjid”, dan “Sentra Oleh-oleh” langsung menyergap mata melengkapi sebuah papan berlatar hitam dengan gambar menampilkan rute jalan, gambar gunung berhuruf kapital pada bagian atas “Peta Wisatawan Kampung Cireundeu”.
Sebelumnya ucapan selamat datang dalam bahasa Sunda tertera pada papan kayu besar bersama monumen Meriam Sapu Jagat sebagai simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan smenyambut siapa saja yang memasuki Cireundeu.
Inilah kampung adat yang berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Kampung Cireundeu berada pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Mengutip website resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Cimahi, disebutkan Cireundeu berasal dari nama pohon reundeu yang memiliki kandungan untuk bahan obat herbal dan banyak tumbuh di tempat ini.
Kampung ini telah ada sejak tahun 1700-an dan berdiri di lahan seluas 64 hektare (ha) terdiri dari 60 ha sebagai kawasan pertanian dan 4 hektar permukiman warga.
Selain itu ada hutan adat seluas 80 ha yang yang menjadi penampung air alami bagi kampung berpenduduk 1.200 jiwa ini. Di Kmapung ini tercatat ada 367 kepala keluarga (KK) terdiri 650 laki-laki dan 550 perempuan, tersebar di 3 Rukun Tetangga (RT).
Sunda Wiwitan
Setelah 20 meter melewati gerbang masuk, kita langsung disambut bangunan berbahan kayu dan bambu yakni Saung Baraya dan Bale Saresehan yang biasa digunakan warga Cireundeu sebagai tempat pertemuan atau pagelaran kesenian.
Luas kedua bangunan sekitar 200 meter persegi. Di bulan Sura, kedua bale dipakai menggelar pentas wayang golek sebagai bentuk syukur kepada Sang Pecipta atas semua yang telah diterima.
Uniknya, rumah-rumah di sini memiliki pintu samping yang harus menghadap ke arah timur dengan tujuan agar cahaya matahari masuk ke bumi. Penduduk Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan seperti halnya masyarakat Suku Baduy, Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok, dan Kampung Naga.
Petuah Leluhur
Masyarakat Cireundeu memiliki kesenian gondang, karinding, serta angklung buncis yang biasanya ditampilkan dalam ritual upacara adat tertentu seperti upacara 1 Sura atau sewaktu menyambut tamu. Mereka juga masih memegang teguh adat istiadat dan budaya leluhur.
Salah satunya adalah pesan yang berbunyi teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat. Artinya, tidak punya sawah asalkan punya padi, tidak punya padi asalkan punya beras, tidak punya beras asalkan masak nasi, tidak punya nasi asalkan makan, tidak makan asalkan kuat.
Petuah leluhur ini membuka sedikit rahasia yang dipegang masyarakat yaitu tidak mengonsumsi nasi. Sebagai gantinya, mereka makan rasi yaitu sejenis nasi yang diolah dari singkong (Manihot esculenta crantz) atau ketela pohon.
Bebas Masalah Ekonomi
Mengutip Badan Pangan Nasional, disebutkan, singkong memiliki kandungan serat tinggi dan rendah gula sehingga dapat mengurangi risiko diabetes. Dalam 100 gram singkong rebus ada 2,3 gram serat sedangkan 100 gram nasi putih hanya mengandung 0,4 gram serat.
Itulah sebabnya mengonsumsi 1,5 potong singkong setara dengan makan 1 porsi nasi. Rasa kenyang dari konsumsi ketela pohon ini bertahan lebih lama dibandingkan dengan nasi. Sehingga masyarakat adat cukup makan 2 kali sehari saja.
Secara ekonomi, mereka tidak terpengaruh gejolak fluktuasi atau naik-turunnya harga beras. Apalagi singkong bisa ditanam sepanjang tahun dan tidak bergantung cuaca seperti halnya tanaman padi.
Ketahanan Pangan
Pemilihan singkong sebagai bahan konsumsi dasar masyarakat Cireundeu bukan baru sekarang ini saja karena mereka sudah memulainya sejak 1924 silam alias 1 abad lalu.
Kemampuan masyarakat setempat untuk bertahan dalam pola konsumsi yang tidak biasa di tengah kebiasaan masyarakat umum yang masih bergantung kepada nasi bukan tanpa sebab.
Ada sebuah kisah dibalik kearifan lokal yang masih dipertahankan itu dan memberi inspirasi bagi banyak orang. Semua dimulai tahun 1918 tatkala Kampung Cireundeu mengalami masa sulit akibat kekeringan hingga mengalami paceklik pangan.
Singkong kemudian menjadi pilihan masyarakat setempat sebagai makanan pokok. Lewat sebuah kesepakatan adat pada 1924, seluruh penduduk kampung akhirnya bermufakat untuk menjadikan makan nasi sebagai pantangan dan sebagai gantinya adalah singkong.
Masyarakat adat mengolah singkong dengan cara digiling, diendapkan, dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampas dari olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat menjadi rasi.
Pada awalnya, makanan ini dikenal dengan nama “sangueun” atau “sangu sampeu”. Namun sekitar tahun 2007, Walikota Kota Cimahi mengubah namanya menjadi “rasi
Selain di makan,singkong ikut diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan dendeng kulit singkong yang dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.
Tidak hanya sebagai makanan, singkong kemudian menjadi simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu. Singkong menjadi penyelamat pangan pada masa itu.
Bertahan 1 Abad
Tradisi itu terus berlangsung hingga kini meski jumlah penduduk yang mengonsumsinya tak lagi mencakup seluruh kampung. Sepintas, mengonsumsi singkong dianggap kampungan dan menurunkan derajat seseorang meskipun seiring berjalan waktu pandangan tadi perlahan berubah.
Banyak orang mulai tertarik dengan keunikan pola konsumsi yang dikembangkan oleh masyarakat Cireundeu dan berkonsep ketahanan pangan. Mereka datang ke Cireundeu untuk belajar tentang konsep yang dipertahankan hingga 1 abad lamanya.
Menariknya lagi, konsep ketahanan pangan ala Cireudeu ini dibarengi prinsip kesadaran untuk tetap menjaga keseimbangan hidup dengan alam yang diajarkan dan diwariskan secara adat.
Lantaran banyaknya pihak seperti pelajar, mahasiswa, peneliti, masyarakat umum hingga wisatawan mancanegara yang ingin belajar konsep ketahanan pangan membuat tetua adat sepakat pada 2010 menjadikan Kampung Cireundeu sebagai destinasi dan desa wisata.
Masyarakatnya begitu bangga mengenalkan kepada pihak luar mengenai kemandirian pangan yang mereka jalankan dari generasi ke generasi. Kemandirian itu pula yang membuat mereka tidak khawatir atau alergi untuk membuka diri kepada pihak luar.
Buktinya, perlengkapan elektronik seperti televisi atau ponsel banyak dimiliki warga kampung dan menjadi pemandangan lumrah. Begitu pula bentuk bangunan rumah banyak bertembok semen dan bata dengan atap genteng meski masih ada yang berdinding bambu dan beratapkan ijuk.
Warisan Budaya
Abah Widi selaku ais pangampih atau kepala adat Kampung Cireundeu berharap ilmu tentang ketahanan pangan yang ada di Cireundeu dapat disebarkan ke daerah-daerah lain.
Hal ini agar masyarakat Indonesia tidak terus bergantung pada beras impor, melainkan kembali memanfaatkan potensi lokal yang tersedia di sekitar mereka. Pria 60 tahun ini ingin agar tidak ada lagi orang yang berbicara kelaparan karena tergantung dengan beras.
Kisah ketahanan pangan dari Kampung Cireundeu ini berbuah manis sewaktu pemerintah pusat serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jabar menetapkan mengonsumsi rasi itu bersama tradisi Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Keputusan itu diterbitkan setelah melalui berbagai kajian oleh tiga akademisi yang jadi bagian dari tim WBTB.
Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jawa Barat Febiyani meminta masyarakat setempat terus menjaga tradisi itu seperti saat ini telah mencapai 1 abad lamanya. “Dua tradisi ini harus diturunkan ke anak keturunan kita, khususnya di Cireundeu. Wajib dirawat dan dilestarikan. Jadi setelah ditetapkan, ada tanggung jawab dibaliknya,” kata Febiyani.
Kampung Cireundeu telah mengajarkan banyak hal, terutama tentang pentingnya ketahanan pangan dan bagaimana sebuah komunitas dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Semoga kita tetap bisa menjaga keberlangsungan alam dengan memanfaatkannya sesuai kebutuhan serta tidak merusaknya. (Artikel diolah dari Indonesia.go.id)