Kerak telor merupakan kuliner khas Betawi yang terkenal karena cita rasa gurih manis yang menggugah selera. Makanan ini tercipta dari hasil kreasi etnis Betawi Kota yang tinggal di daerah Menteng pada penjajahan VOC di Indonesia.
Betawi selain dikenal memiliki banyak kebudayaan dan tradisi yang menarik, juga memiliki kuliner yang banyak disukai orang-orang hingga sekarang. Salah satunya yaitu Kerak Telor yang terbuat dari bahan sederhana. Bisa dikatakan, kerak telor sama terkenalnya dengan kuliner khas Betawi lain seperti selendang mayang, kue rangi, gabus pucung dan lainnya.
Sejarah Kerak Telor
Jika menilik kembali asal-usulnya, kuliner khas Betawi banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, Arab, India, dan Eropa terutama budaya Portugis dan Belanda. Kerak telor tercipta dari hasil kreasi etnis Betawi Kota yang tinggal di daerah Menteng pada penjajahan VOC di Indonesia.
Ada juga yang mengatakan bahwa, Kerak telor sendiri tercipta secara tidak sengaja. Berawal dari banyaknya pohon kelapa di Batavia, sekelompok warga Betawi mencoba memanfaatkan kelapa untuk diolah menjadi makanan.
Melansir dari berbagai sumber, berawal dari warga Belanda yang terbiasa mengonsumsi omelette mi dan menginginkan makanan yang lebih sehat, sekelompok masyarakat Betawi Menteng kemudian berinisiatif mengganti mi dengan beras ketan. Kemudian, pada tahun 1970-an, Kerak Telor mulai dijajakan oleh masyarakat Betawi di pinggir jalan dekat Tugu Monas.
Proses pembuatan makanan ini dimasak dengan cara membalik wajan yang digunakan di atas anglo (tungku kecil) untuk mematangkan telurnya. Bahan dasarnya berupa ketan putih, telur bebek, ebi halus, kelapa kering, bawang. Kemudian, setelah matang ditaburi dengan bawang merah goreng serta serundeng yang terbuat dari parutan kelapa.
Filosofi Kerak Telor
Di balik terkenalnya kerak telor, ternyata ada makna tersendiri yang terkandung di dalamnya. Salah satu bahan yang digunakan untuk membuat kerak telor adalah ketan. Bahan ini memiliki tekstur yang kental dan dapat menyatukan keseluruhan bahan lain.
Maksud filosofi dari hal tersebut yaitu ketan mewakili karakteristik pemimpin. Sifat kepemimpinan tersebut dikuatkan dengan kehadiran telur yang menyatukan seluruh rasa dalam kerak telor.
Filosofi juga terkandung dalam cara memasak kerak telor, dalam hal ini adalah waktu. Jika terlalu cepat ditelungkupkan, ketan dan telur belum terlalu matang, sehingga akan hancur. Begitu pula dengan seorang pemimpin. Jika merasa belum siap, artinya jangan dulu dijadikan pemimpin. Sementara itu, tambahan bumbu lain di dalam kerak telor mempresentasikan cara pemimpin dalam berdinamika.
Kerak telor sebagai warisan budaya Betawi, hendaknya terus dijaga dan dilestarikan. Terlebih lagi makanan ini sudah ada sejak puluhan tahun silam dan telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. (Anisa Kurniawati-Berbagai Sumber)