Montro, atau Kesenian Sholawat Montro, merupakan salah satu warisan budaya khas yang berasal dari Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seni ini menonjolkan puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan dengan indah melalui tembang, iringan musik tradisional gamelan, dan rebana.
Asal-Usul Montro
Melansir dari regional.espos.id, kesenian Montro pertama kali diciptakan Kanjeng Pangeran Yudhanegara, menantu Sultan Hamengkubuwono VIII, pada 11 April 1939.
Kanjeng Pangeran Yudhanegara, tidak hanya seniman tetapi juga panglima laut Hindia Belanda.
Montro berkembang di lingkungan Keraton Yogyakarta, untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lokasi awalnya adalah di Kauman, Pleret, Bantul, tempat di mana kesenian ini pertama kali muncul dan mulai dikenal.
Dengan latar belakangnya, ia berhasil menciptakan kesenian yang menggabungkan unsur spiritual dan estetika, menjadikan Montro sebagai simbol perayaan religius dan seni budaya yang indah.
Perkembangan dan Eksistensi
Seiring waktu, Montro tidak lagi terbatas pada lingkungan keraton. Kesenian ini merambah masyarakat umum dan menjadi bagian dari tradisi rakyat.
Hingga saat ini, Montro tetap lestari di Kauman, Pleret, dan terus tampil dalam berbagai acara kebudayaan di Yogyakarta, menjadikannya ikon kebanggaan Kabupaten Bantul.
Dibawah bimbingan maestro kesenian Montro, H. Suratijan, kesenian ini berkembang menjadi dua versi:
- Versi Lama: Tetap mempertahankan tradisi asli.
- Versi Kreasi Baru: Mengadaptasi elemen modern untuk menarik minat generasi muda.
Montro kini dimainkan dua generasi, yaitu generasi tua (dewasa) dan generasi muda (anak-anak), yang bersama-sama menjaga kelangsungan seni ini.
Keunikan dan Tata Pertunjukan Montro
Melansir dari merdeka.com, pentas Montro diawali pembacaan kandha (salam pembuka) yang disampaikan dalang. Lalu, para penampil menyanyikan shalawat dalam bahasa Arab dengan pelafalan khas Jawa, diiringi musik dan tarian.
Alat musik utamanya rebana dengan berbagai ukuran, masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti kendang, gong, atau kempul. Penampilan dipimpin seorang dalang, sementara para vokalis dan penabuh musik duduk mengelilinginya.
Jumlah penari antara 8 hingga 10 orang. Tarian dilakukan dengan gerakan yang bervariasi, termasuk duduk, berdiri, dan berjalan kecil. Terkadang, para penari juga bersautan secara serempak, menciptakan suasana yang penuh semangat.
Warisan Budaya yang Terus Dijaga
Montro tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana menyampaikan pesan spiritual dan budaya.
Dengan tampil dalam berbagai acara budaya di Yogyakarta, Kesenian Sholawat Montro berhasil mempertahankan posisinya sebagai seni tradisional yang relevan hingga kini.
Komitmen masyarakat Pleret, khususnya di Kauman, serta kontribusi seniman seperti H. Suratijan, menjadi kunci utama pelestarian Montro sebagai salah satu kesenian khas Bantul yang membanggakan. (Diolah dari berbagai sumber)