Kisah Lutung Kasarung merupakan salah satu cerita rakyat yang kerap diwariskan secara turun-temurun di masyarakat Sunda, Jawa Barat. Dongeng ini telah menjadi bahan ajar di sekolah, pengantar tidur, hingga sumber inspirasi bagi karya seni lainnya, seperti buku cerita, teater, dan film.
Keberadaannya tidak hanya memperkaya budaya lokal tetapi juga memberikan pelajaran moral mendalam tentang cinta, kesabaran, dan kejujuran.
Adaptasi Seni
Cerita ini pertama kali diadaptasi R.A.A. Wiranatakusumah V, Bupati Bandung tahun 1921 ke dalam bentuk gending karesmen (drama musikal). Tahun 1926, kisahnya diangkat ke layar lebar dalam film bisu Loetoeng Kasaroeng (1926), yang disutradarai G. Kruger dan L. Heuveldorp.
Film ini dianggap sebagai tonggak sejarah sinema Hindia Belanda karena mendapat sambutan positif dari masyarakat. Selain film, Lutung Kasarung juga hadir dalam bentuk buku karya Tilly Dalton (1950) dan berbagai pagelaran teater.
Salah satu pertunjukan yang terkenal adalah musikal arahan almarhum Didi Petet pada 2011 serta seri #MusikalDiRumahAja karya Nia Dinata (2020), yang diproduksi BOOWLive dan Indonesia Kaya.
Kerajaan Pasir Batang
Legenda ini dimulai di Kerajaan Pasir Batang, yang dipimpin Prabu Tapa Agung, seorang raja bijaksana yang telah menua. Sang raja tidak memiliki putra mahkota, sehingga ia harus memilih salah satu dari tujuh putrinya untuk menggantikannya.
Dari ketujuh putrinya, lima telah menikah, sehingga hanya tersisa dua: Purbararang, si sulung yang dikenal sombong dan pendengki, serta Purbasari, si bungsu yang berhati lembut dan ramah.
Setelah pertimbangan matang, Prabu Tapa Agung memilih Purbasari sebagai pewaris takhta, keputusan yang disambut baik rakyat namun memicu amarah Purbararang.
Tak terima, Purbararang bersekongkol dengan tunangannya, Raden Indrajaya, untuk mencelakai Purbasari. Dengan bantuan seorang penyihir bernama Ni Ronde, mereka membuat tubuh Purbasari dipenuhi bercak hitam. Keadaan ini dimanfaatkan Purbararang untuk menyingkirkan Purbasari ke hutan dengan alasan penyakit menular.
Keajaiban di Hutan
Dalam pengasingannya, Purbasari bertemu dengan seekor kera hitam bernama Lutung Kasarung, yang tak lain adalah jelmaan dewa Sanghyang Guruminda. Sang dewa turun ke Bumi atas perintah ibunya, Sunan Ambu, untuk mencari cinta sejati.
Dalam wujud kera, ia ingin mendapatkan cinta tanpa melihat rupa. Persahabatan antara Purbasari dan Lutung Kasarung berkembang menjadi hubungan yang penuh kasih.
Ketulusan Purbasari membuat Lutung Kasarung memohon bantuan dari Sunan Ambu untuk menyembuhkan sang putri. Dengan kekuatan magisnya, Sunan Ambu menciptakan sebuah telaga bernama Jamban Salaka yang dapat menghilangkan kutukan di tubuh Purbasari.
Setelah mandi di telaga, kecantikan Purbasari kembali bersinar, bahkan melebihi paras Purbararang. Keajaiban ini menjadi awal bagi Purbasari untuk kembali merebut takhtanya.
Perebutan Takhta
Ketika Purbasari kembali ke istana, Purbararang tidak menerima keputusan Prabu Tapa Agung yang ingin mengembalikan takhta kepada sang bungsu. Ia menantang Purbasari untuk berduel.
Duel pertama adalah lomba rambut terpanjang, yang dimenangkan Purbasari berkat doa Lutung Kasarung. Namun, Purbararang mengajukan duel kedua, yaitu membandingkan ketampanan tunangan masing-masing.
Ia yakin tunangannya, Raden Indrajaya, akan lebih tampan dibandingkan seekor lutung. Namun, Lutung Kasarung akhirnya menampakkan wujud aslinya sebagai Sanghyang Guruminda, seorang dewa yang tampan dan gagah. Pesona Sanghyang Guruminda memukau semua orang, termasuk Purbararang, yang akhirnya mengakui kekalahannya.
Akhir Bahagia
Purbararang meminta maaf atas perbuatannya, dan Purbasari memaafkan kakaknya. Dengan restu Prabu Tapa Agung, Purbasari menikah dengan Sanghyang Guruminda dan memimpin Kerajaan Pasir Batang dengan bijaksana.
Legenda Lutung Kasarung mengajarkan pentingnya kejujuran, ketulusan, dan kesabaran. Kisah ini juga menyoroti nilai kebijaksanaan dalam memimpin dan cinta sejati yang melampaui rupa fisik. (Dari berbagai sumber)