Di balik kisah lahirnya kota Temanggung, terdapat seorang pertapa sakti bernama Ki Ageng Makukuhan. Dia merupakan murid dari Sunan Kalijaga, seorang tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa, serta Ki Jugil Ararawar, yang juga merupakan sahabat seperguruannya. Suatu hari, Sunan Kalijaga memanggil Ki Ageng Makukuhan dan berkata, “Nak, tahukah kamu mengapa aku memanggilmu?” Ki Ageng menjawab, “Tidak, Guru.” Sunan Kalijaga melanjutkan, “Kamu tahu gunung Sumbing, bukan?” Ki Ageng mengangguk, “Ya, Guru. Engkau pernah mengajak saya ke sana.”
Dengan penuh kehormatan, Sunan Kalijaga kemudian mengutusnya untuk berdakwah di sekitar kawasan gunung Sumbing. Tanpa ragu, Ki Ageng Makukuhan menerima tugas itu dan berangkat untuk menyebarkan ajaran agama di daerah tersebut. Di samping itu, Ki Ageng memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap ayam hitam dengan paruh putih, sebuah jenis ayam yang menurutnya memiliki keistimewaan.
Suatu hari, saat melakukan semedi di sebuah kuburan keramat di daerah Kedu, Ki Ageng merasakan kehadiran hawa yang lembut, seolah-olah ada bisikan halus yang menyentuh hatinya. Suara itu mengarahkan Ki Ageng untuk pergi ke Panembahan Hargo Pikukuh dan bertemu dengan putranya yang bernama Lintang Katon, sambil membawa ayam kesayangannya. Dengan penuh keyakinan, Ki Ageng segera menuju tempat yang dimaksud dan meminta izin untuk mengobati Lintang Katon yang sedang sakit.
Setelah melalui proses penyembuhan yang penuh keajaiban, Lintang Katon berhasil sembuh dari penyakitnya. Keberhasilan ini membuat Ki Ageng merasa bersyukur, dan ayam kesayangannya pun dianggap sebagai simbol kesembuhan. Ia memutuskan untuk mengawinkan ayam tersebut dengan ayam hitam lainnya. Dari hasil perkawinan ini, lahirlah keturunan yang berbeda; semua anak ayam itu berwarna hitam total, kontras dengan induknya.
Ayam-ayam baru ini kemudian dikenal sebagai Ayam Cemani. Istilah “cemani” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “hitam legam”. Popularitas Ayam Cemani mulai melonjak pada tahun 1960-an, ketika berbagai upacara peresmian bangunan sering melibatkan sesaji ayam hitam ini. Sejak saat itu, banyak orang berdatangan ke Kedu untuk mencari dan mendapatkan Ayam Cemani.
Ayam Cemani memiliki penampilan yang sangat khas; semua bagiannya berwarna hitam, mulai dari paruh, bulu, kaki, taji, hingga jenggernya. Selain penampilannya yang unik, ayam ini memiliki peranan penting dalam masyarakat, terutama dalam praktik-praktik yang bersifat magis. Ayam Cemani sering digunakan dalam upacara ritual seperti pelarungan, ruwatan, serta dalam pembangunan infrastruktur, termasuk pabrik, jembatan, dan gedung-gedung bertingkat. Selain itu, ayam ini juga sering dijadikan sesaji dalam pengobatan orang yang mengalami sakit aneh atau sakit dalam, bahkan bagi mereka yang diduga terkena sihir.
Kisah Ayam Cemani tidak hanya menjadi bagian dari legenda, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat sekitar. Ayam ini dianggap sebagai jembatan antara dunia nyata dan dunia gaib, serta simbol harapan dan penyembuhan bagi banyak orang yang percaya pada kekuatan magisnya. Dengan demikian, Ayam Cemani bukan hanya sekadar unggas, tetapi juga sebuah ikon yang kaya akan makna dan sejarah dalam kehidupan masyarakat Temanggung dan sekitarnya. (Achmad Aristyan – Sumber: Sejarah dan Mitos Kabupaten Temanggung/Ayuninaahmad)