Terletak di ujung timur Indonesia, Merauke adalah kabupaten yang kaya akan keragaman budaya. Daerah ini berbatasan langsung dengan Papua Nugini dan dihuni oleh berbagai suku yang memiliki cerita rakyatnya masing-masing.
Salah satu kisah yang menarik adalah asal-usul penyebaran suku-suku di Merauke, yang diceritakan kembali oleh Emik Puji Utami dalam bukunya “10 Cerita Rakyat Papua Terpilih”. Di sebuah hutan lebat, hiduplah seorang kakek yang disebut Tete, bersama dua ekor anjingnya yang bernama Nggarembu.
Tete merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di daerah itu, dan ia tinggal di dalam sebuah befak, rumah sederhana yang terbuat dari pelapah dan daun sagu. Kedua anjingnya, satu berwarna belang dan yang lainnya hitam, setia menemani Tete berburu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, ketika Tete mencari kedua anjingnya untuk berburu, ia mendapati bahwa mereka tidak ada di dekatnya. Ia pun memutuskan untuk tidak berburu pada hari itu.
Namun, saat sore tiba, kedua anjing itu kembali dengan perut yang terlihat mengembang. Hal ini terjadi berulang kali, dan Tete pun merasa curiga, karena ia belum memberi makan kepada mereka.
Baca Juga: Batu Menangis, Legenda Kalimantan Barat Penuh Makna
Tanpa sepengetahuan Tete, setiap pagi Nggarembu pergi ke hutan mencari makanan dari pohon warak yang besar. Setelah mengamati perilaku anjingnya, Tete memutuskan untuk mengikuti mereka.
Di tengah perjalanan, Nggarembu berlari cepat, seolah ingin menunjukkan sesuatu kepada Tete. Akhirnya, mereka sampai di bawah pohon warak, dan Tete menemukan jalan setapak yang dibuat oleh Nggarembu, yang terlihat licin dan ramai dilalui orang.
Saat mendekati pohon, Tete mendengar suara gaduh dari dalamnya. Rasa penasaran membuatnya semakin mendekat, dan ia terkejut mendapati di dalam pohon terdapat banyak orang. Tete yang merasa terancam adanya orang-orang asing itu, berencana mengusir mereka.
Dengan penuh kemarahan, Tete berlari ke befaknya untuk mengambil peralatan perang, seperti panah dan tombak, serta merias wajahnya sebagai tanda persiapan. Setelah siap, ia kembali ke pohon warak untuk menuntut kejelasan dari orang-orang yang ada di sana, yang dianggapnya melanggar hak wilayahnya.
Di dekat pohon, Tete mengintip dan melihat bahwa di dalamnya terdapat suku-suku bangsa yang berbeda. Ia kemudian membuka pintu pohon dan memerintahkan semua penghuni untuk keluar. Tete marah kepada mereka karena tidak memberitahu keberadaan mereka di tanah ulayatnya.
Baca Juga: Cerita Lisan Muasal Nama Padukuhan Di Sleman Dibukukan
Setelah memarahi mereka, Tete memaafkan kesalahan tersebut dengan syarat mereka harus meninggalkan wilayahnya. Ia kemudian membagi tanah menjadi beberapa bagian.
Mereka yang tinggal di lantai bawah dan satu bahasa dengan Tete diperbolehkan tinggal di sekitarnya. Suku yang tinggal di lantai dua, meski satu suku tetapi sedikit berbeda bahasanya, diberi tempat di Yanggandur, kampung di Distrik Sota.
Mereka yang menghuni lantai tiga, dengan bahasa Smarki Puney, dipindahkan ke Kampung Yerew (sekarang Kampung Rawa Biru), sedangkan suku Morori/Maraori yang tidak memiliki kesamaan bahasa dengan Tete diizinkan tinggal di Kampung Wasur.
Suku-suku lainnya, seperti suku Marind yang besar dan kuat, tinggal di pesisir pantai, sementara suku yang lebih kecil namun masih memiliki hubungan darah dengan Tete ditempatkan di Kimaam. Suku Yei, yang tinggal di tingkat paling atas pohon warak, mendapatkan tempat di seberang Kali Maro.
Sejak saat itu, suku-suku bangsa di Merauke menempati wilayah yang telah ditentukan oleh Tete, menciptakan keragaman budaya yang terus berlanjut hingga kini. (Achmad Aristyan – Sumber: labbineka.kemdikbud.go.id)