Klenteng Tjoe Hwie Kiong dikenal sebagai salah satu bangunan bersejarah yang dilindungi di Kota Kediri, Jawa Timur.
Klenteng ini menjadikannya tempat ibadah penting bagi etnis Tionghoa dan bagian dari cagar budaya. Meskipun memiliki nilai historis yang tinggi, asal-usul pendirian klenteng ini masih menyimpan banyak misteri.
Menurut berbagai versi cerita, pendirian Klenteng Tjoe Hwie Kiong diperkirakan terjadi sekitar tahun 1817. Namun, informasi mengenai siapa pendirinya masih belum jelas, bahkan pengurus klenteng pun tidak dapat memastikannya.
Prayitno Sutikno, Ketua Umum Yayasan Tri Dharma Klenteng Tjoe Hwie Kiong, menjelaskan bahwa usia klenteng ini telah lebih dari 200 tahun, dan hingga kini mereka tidak mengetahui siapa nama pendirinya.
Dari cerita yang diturunkan oleh para sesepuh, diketahui bahwa dulunya ada seorang musafir asal Tiongkok yang singgah di Kota Kediri. Musafir tersebut tiba melalui jalur air, melewati Sungai Brantas, yang pada masa itu merupakan jalur perdagangan penting.
Prayitno menjelaskan bahwa situasi di China pada waktu itu sedang tidak stabil, dipenuhi dengan konflik dan kondisi ekonomi yang buruk, sehingga banyak orang yang akhirnya bermigrasi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Dalam perjalanannya, musafir yang juga seorang pedagang ini tiba di sekitar Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Pakelan, Kota Kediri.
Setelah menginjakkan kaki, ia segera mendirikan tempat sederhana untuk berdoa. Ia membawa serta Dewi Laut atau Thian Sang Sing Bo, yang kemudian diletakannya di tempat berdoa di tepi Sungai Brantas. Prayitno menambahkan bahwa itulah alasan mengapa Klenteng Tjoe Hwie Kiong berada di sisi timur Sungai Brantas.
Seiring berjalannya waktu, banyak perantau Tionghoa lainnya yang datang dan berdoa di tempat tersebut, masing-masing membawa dewa mereka sendiri. Akibatnya, klenteng ini kini dihuni oleh berbagai dewa, termasuk Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Kong.
Dalam struktur bangunannya, altar Dewi Thian Sang Sing Bo terletak di tengah dan menghadap ke arah Sungai Brantas. Sementara dewa-dewa lainnya disusun di sisi-sisi klenteng.
Patung tiga nabi agung terletak di sisi kanan, sejajar dengan bangunan utama. Di sebelah kiri terdapat patung Lao Tze dengan simbol yin-yang dari ajaran Tao, dan di tengah terdapat patung Buddha Sakyamuni dengan simbol swastika. Di sisi paling kanan terdapat patung Kong Hu Cu, lengkap dengan simbol genta.
Keberagaman yang diusung oleh Tri Dharma menjadikan Klenteng Tjoe Hwie Kiong sebagai tempat yang mengedepankan toleransi antarumat beragama. Semua orang diperbolehkan untuk berdoa di sana.
Sri Sulanjari, mantan juru kunci klenteng, menyatakan bahwa siapapun dapat berdoa di sana tanpa aturan khusus mengenai urutan prosesi.
Umumnya, pengunjung mulai berdoa dari pintu masuk altar, di mana terdapat hiolo, tempat untuk menancapkan hio yang terbuat dari kuningan. Setelah itu, mereka melanjutkan ke dalam untuk berdoa kepada arwah suci atau Chung Sien Bing.
Sri menjelaskan bahwa mereka yang akan melakukan perjalanan biasanya berdoa kepada Dewa Thian Sang Sing Bo, yang diyakini dapat memberikan keselamatan dalam perjalanan, sedangkan mereka yang ingin bisnisnya lancar biasanya berdoa kepada Dewa Kwan Kong.
Pengunjung juga bebas memberikan persembahan sesuai keinginan mereka. Persembahan yang umum dibawa meliputi buah apel, yang melambangkan keselamatan, buah pir yang berarti kelancaran, dan buah jeruk yang melambangkan kemuliaan.
Sri menegaskan bahwa apapun boleh diberikan, bahkan air putih pun tidak masalah, asalkan dilakukan dengan kerelaan.
Struktur bangunan klenteng sendiri tidak banyak diubah; hanya dilakukan beberapa renovasi untuk menjaga kekuatannya, seperti pemasangan keramik di dinding untuk menghindari kerusakan akibat banjir. Konon, daerah ini dahulu sering mengalami banjir, sehingga dinding sering terendam dan lumutan.
Saat ini, Klenteng Tjoe Hwie Kiong tidak hanya dikunjungi oleh warga Tionghoa untuk berdoa. Banyak pengunjung dari latar belakang berbeda datang untuk belajar tentang budaya dan sejarah yang terkandung dalam klenteng ini. (Sumber: kedirikota.go.id)