Lalove, merupakan alat musik tradisional dari Suku Kaili, Sulawesi Tengah. Alat musik yang bentuknya mirip suling dan dimainkan dengan cara ditiup ini dipercaya oleh masyarakat setempat dapat menyembuhkan penyakit.
Suku Kailli mendiami sebagian besar wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah, di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki Kulawi, dan Gunung Raranggona. Suku ini juga mendiami wilayah pantai timur Sulawesi Tengah.
Sama halnya suku-suku lainnya di Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai tradisi, budaya, dan adat istiadat sebagai bagian dari kekayaan budaya. Salah satunya adalah upacara penyembuhan penyakit atau disebut Balia yang masih terpelihara hingga kini.
Dalam upacara penyembuhan tersebut, Semua ritual Balia akan diiringi dengan musik tradisional yang utama yaitu Lalove. Alat musik ini dipercaya memiliki peran besar dalam proses penyembuhan.
Dilansir dari laman kemdikbud.go.id, munculnya Lalove berkaitan dengan legenda sawerigading yang ingin meminang Ngilinayo, Raja wanita dari Kerajaan Sigi. Syarat lamaran yang diajukan yaitu mengadu ayam yang berasal dari kedua kerajaan tersebut. Untuk memeriahkan acara tersebut, maka diiringilah berbagai alat musik, termasuk Lalove. Ternyata alat musik Lalove dapat mengundang orang bahkan yang sakit ke tempat tersebut.
Baca juga: Siwar, Alat Tradisional Khas Lahat Sarat Nilai Budaya
Ritual adat Balia sendiri terdapat sepuluh, yaitu; ritual Pompoura dari Keluarahan Balaroa, Enje Da’a dari Kelurahan Donggala Kodi, Tampilangi Ulujadi dari Kelurahan Kabonena, Pompoura Vunja dari Kelurahan Petobo, Manuru Viata dari Kelurahan Tipo, Jinja dari Kelurahan Lasoani, Balia Topoledo dari Kelurahan Taipa, Vunja Ntana dari Kelurahan Tanamondindi, Tampilangi Api dari Kelurahan Kayumalue Pajeko, dan Nora Binangga dari Kelurahan Kawatuna.
Ritual Adat
Semua ritual Balia akan diiringi dengan musik tradisional yang utama yaitu Lalove. Alat musik ini hampir mirip seperti seruling, yang terbuat dari bambu atau rotan. Namun pembuatan alat musik ini melalui proses yang sakral.
Sebelum menebang buluh atau bambu tersebut, terlebih dahulu dibuatkan upacara untuk minta izin kepada penghuni di bukit tersebut. Upacara ini menyuguhkan sesajen berupa ayam putih yang diambil darahnya sedikit lalu dilepas dan makanan lain sambil membacakan mantra.
Selesai upacara, dipilihlah buluh yang paling tinggi, lurus dan sudah tua, dan ditebang sambil mengucapkan tebe (permisi). Lalu tiga bambu yang dipilih dilempar ke sungai. Buluh bambu yang lebih dahulu hanyut itulah yang dipilih menjadi Lalove.
Setelah itu, buluh pilihan dipotong seruas-ruas, lalu dianginkan sampai kering. Salah satu ruas buku tidak dikeluarkan. Pada bagian buku ini dibuat lubang untuk masuknya udara. Kemudian, pada bagian belakangnya dibuat enam lubang dengan jarak yang sama tiap tiga lubang.
Baca juga: Bundengan, Alat Musik Tradisional Wonosobo
Untuk memperbesar suara Lalove tadi pada ujungnya ditambah dengan buluh yang lebih besar, biasanya disebut solonga. Dahulu, Lalove ini tidak boleh sembarangan ditiup. Sebab bagi orang-orang yang biasa kerasukan roh. Itulah sebabnya alat musik ini awalnya hanya dimiliki orang tertentu dan disebut bule.
Saat ini, alat tersebut tidak hanya ditampilkan pada ritual Balia saja, namun telah banyak dipakai untuk mengiringi tarian tradisional. Lalovo juga banyak dikreasikan oleh seniman dengan musik Kakula.
Alat ini bahkan pernah ditampilkan di pertunjukkan internasional seperti di University of Hawai’i Gamelan Ensemble Concert , Honolulu , Hawaii (November 2005). Jadi Musik Pembuka pemutaran Film “The Last Bissu” karya Rhoda Grauer, East West Center, Honolulu (October 2005), serta Honolulu Zoo Society, untuk pencaharian dana orang utan Rusty (October 2005). (Sumber: Indonesia.go.id)