Di tanah Minahasa, tepatnya di wilayah Airmadidi, terdapat sebuah legenda yang mengisahkan tentang sembilan bidadari yang datang mandi di bumi.
Cerita seperti ini tidak hanya dikenal di Jawa, tetapi juga di Sulawesi Utara, dengan lokasi yang dipercaya sebagai tempat pemandian para bidadari ini terletak di daerah Tumatenden.
Asal-usul Cerita
Melansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, menurut cerita rakyat di Kelurahan Airmadidi Bawah, sembilan bidadari yang turun dari kayangan berwujud burung balam putih. Setiap kali datang, mereka terbang menuju pemandian air panas yang dikenal sebagai Rano ni Putiin (air dari burung balam).
Pemandian ini hanya boleh digunakan para putri kayangan, dan dianggap sebagai tempat yang penuh dengan keindahan alam. Di sekitar pemandian ini, terdapat hutan yang lebat, dengan pepohonan tinggi dan bunga-bunga yang tumbuh liar.
Suatu hari, Mamanua, pemuda desa yang kaya dan memiliki banyak pesuruh, memutuskan mengunjungi tempat pemandian itu. Dia ingin tahu siapa yang berani membuat tempat itu kotor.
Dalam penyamarannya, Mamanua menyaksikan para bidadari turun dan mandi. Tanpa sepengetahuan mereka, Mamanua mencuri salah satu sayap putih milik bidadari bungsu, yang kemudian dikenal dengan nama Lumalundung.
Lumalundung, yang kehilangan sayapnya, tidak bisa kembali ke kayangan. Akhirnya, ia tinggal di bumi dan menikahi Mamanua, yang merawatnya dengan baik. Dari pernikahan itu, lahirlah anak laki-laki yang diberi nama Walansendow.
Perjalanan Mamanua dan Walansendow
Waktu berlalu, mereka hidup bahagia. Namun,suatu hari Mamanua melakukan sebuah kesalahan fatal. Mamanua secara tidak sengaja mencabut tiga helai rambut istrinya, yang menjadi pantangan bagi seorang bidadari.
Tindakan ini menyebabkan darah mengalir tanpa henti dari kepala Lumalundung. Ketika Mamanua menyadari kesalahannya, Lumalundung segera mencari sayap yang disembunyikan suaminya dan terbang kembali ke kayangan, meninggalkan Mamanua dan anak mereka.
Walansendow menangis tanpa henti, dan Mamanua pun bertekad untuk mencari istrinya ke mana pun dia pergi, bahkan jika itu berarti harus menuju langit yang ke tujuh. Perjalanan panjang dimulai, dan Mamanua menggendong Walansendow dalam pencariannya.
Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai makhluk, seperti pohon besar yang sangat tinggi, rotan, babi hutan, dan ikan besar, yang semuanya meminta balas jasa jika mereka ingin membantu Mamanua. Namun, meskipun berbagai bantuan datang, mereka tetap gagal mencapai tujuan mereka.
Akhirnya, perjalanan mereka membawa ke lelaki tua bernama Malaroya, yang ternyata ayah Lumalundung. Malaroya menilai Walansendow memiliki darah dewa. Dengan penuh kasih, Malaroya mengarahkan Mamanua dan Walansendow ke tempat para bidadari berada.
Namun, Mamanua bingung karena semua putri memiliki wajah serupa. Ketika Mamanua hampir menyerah, seekor lalat datang dan memberitahunya, Lumalundung adalah putri yang ia cari.
Setelah bertemu kembali dengan Lumalundung, keduanya berpelukan dan berbicara tentang perjalanan yang telah mereka lalui. Namun, kedatangan mereka menimbulkan keributan di kayangan, karena bau manusia telah tercium.
Malaroya datang memberikan hukuman pada Mamanua. Namun, dengan bantuan Sogili (belut), Mamanua berhasil mengisi sebatang buluh berlubang dengan air, memenuhi syarat dari Malaroya.
Akhirnya, hukuman dibatalkan, dan Mamanua bersama istrinya dan anak mereka diperbolehkan untuk hidup bahagia di kayangan. Demikian kisah Legenda Sembilan Bidadari dari Minahasa.