Prasasti Plumpungan, berlokasi di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo tersebut memuat cikal bakal lahirnya Salatiga. Sejarah tersebut tertulis di sebuah batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5 meter.
Tulisan di prasasti Plumpungan dialihkan oleh Sejarawan dan ahli Epigraf Dr. J. G. de Casparis yang selanjutnya disempurnakan oleh Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka. Berdasarkan isinya, disebutkan bahwa Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi.
Prasasti ini sendiri berisi mengenai ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swatantra bagi daerah bernama Hampra yang kini menjadi Salatiga. Perdikan sendiri adalah daerah bebas pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu.
Pemberian perdikan merupakan hal istimewa pada masa itu, karena tidak setiap daerah kekuasaan mendapatkannya. Dasar pemberian daerah perdikan adalah karena pernah benar-benar berjasa kepada seorang raja.
Baca Juga: Ki Ageng Pandanaran, Legenda Nama Salatiga Bermula
Prasasti tersebut ditulis oleh seorang Citraleka pada tahun 750 Masehi itu. Citraleka, yang sekarang dikenal dengan sebutan penulis atau pujangga, dibantu oleh sejumlah pendeta atau resi dan ditulis dalam bahasa jawa kuno “Srir Astu Swasti Prajabyah” yang berarti “Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian”.
Isi Prasasti
Dilansir dari laman nationalgeographic.co.id, proses awal dalam penulisan di atas batu ini adalah dengan menggunakan getah pada ujung daun mempelam, kemudian dipahatlah Aksara Jawa Kuno sehingga menjadi Prasasti Plumpungan.
Isi dari Prasasti Plumpungan memuat cukup lengkap informasi. Jika diartikan kurang lebih berbunyi:
“Semoga bahagia. Selamatlah rakyat sekalian. Tahun saka telah berjalan 672/4/31/ pada hari Jumat tengah hari dari beliau, demi agama sebagai dharama bakti kepada Yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah atau tanam, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka yaitu Desa Hampra yang terletak di wilayah trigramyama.
Baca Juga: Epigrafi Ajak Masyarakat Kenali Prasasti
Dengan restu dari Siddhadewi berupa daerah bebas pajak atau perdikan dan ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam dari Beliau yang bernama Bhanu (dan mereka) dengan bangunan suci tahu candi (yaso) ini, selalu menemukan hidup abadi di dalamnya”
Pada intinya isi tersebut menyatakan bahwa desa Hampra yang nantinya menjadi Salatiga, diberikan status Perdikan (dibebaskan dari pajak) karena jasa masyarakat desa tersebut dalam bidang keagamaan.
Berdasarkan informasi yang ada pada prasasti Plumpungan, tanggal 672/4/31 kemudian menjadi cikal bakal ditetapkannya hari lahir Kota Salatiga. Tanggal tersebut jika dijadikan dalam Masehi menjadi 24 Juli. Ditambah dengan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 1995, kemudian ditetapkan tanggal 24 Juli 750 M sebagai Hari Jadi Salatiga.
Asal-Usul Nama Salatiga
Menurut Prof. Dr. R Ng. Poerbatjaraka kata ‘Siddhadewi’ adalah nama lain Dewi Trisala. Diduga, penduduk di daerah itu memuja Dewi Trisala. Nama tersebut jika diartikan secara etimologi bahasa menjadi Sala Tri dan akhirnya dikenal sebagai Salatiga.
Namun menurut versi buku Hari Jadi kota Salatiga, wilayah Trigramyama memiliki arti Tri, tiga dan gram yang berarti desa (grama). Dengan demikian Trigramya berarti Tiga Desa atau mempunyai tiga wilayah desa.
Tiga Desa tersebut adalah Desa Hampra yang sekarang menjadi Dukuh Plumpungan, Desa Puhunan sekarang menjadi Pulutan, dan Desa Praktaha sekarang menjadi Padaan di Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Trigramya inilah yang kemudian berkembang menjadi Salatiga
Baca Juga:Museum Sidik Jari Denpasar, Museum Lukisan Tanpa Kuas
Menurut Warin, seorang pegiat Salatiga Heritage, penamaan Salatiga berasal dari tiga candi yang terletak tidak jauh dari Plumpungan. Masyarakat setempat menyebut wilayah Salatiga dengan nama Selo Tigo (Selo: batu, Tigo: tiga).
Hal ini dikarenakan mereka biasa menyebut candi dengan kata ‘selo’ karena bangunan candi memang terbuat dari bahan batu. Saat ini sisa bongkahan-bongkahan candi tersebut disimpan di Museum Salatiga Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo.
(Sumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id dan sumber lainnya)