Suku Baduy adalah salah satu suku asli Indonesia yang tinggal di wilayah Banten. Suku ini dikenal karena menolak modernisasi dan menjaga teguh adat serta warisan tanah nenek moyang mereka.
Keberadaan dan tempat tinggal mereka telah diresmikan pemerintah sebagai bagian dari Cagar Budaya Pegunungan Kendeng, sebagaimana tercatat dalam laman resmi Provinsi Banten.
Salah satu ciri khas yang menonjol dari suku ini adalah rumah adat mereka yang terbuat dari kayu, dengan dinding anyaman bambu dan atap dari dedaunan, mencerminkan kesederhanaan dan harmoni dengan alam.
Sejarah Baduy
Sejarah suku Baduy erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa. Mereka menganggap diri mereka keturunan Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi.
Selain itu, mereka juga menghubungkan asal-usul mereka dengan Nabi Adam, yang mereka yakini sebagai nenek moyang pertama manusia. Nabi Adam dan suku Baduy disebut memiliki tugas menjaga harmoni dunia melalui praktik bertapa atau “mandita.”
Keberadaan suku Baduy tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Pajajaran yang berkuasa di wilayah Banten, Bogor, Priangan, dan Cirebon pada abad ke-11 hingga 12. Kerajaan yang dipimpin Raja Prabu Siliwangi ini mulai melemah pada abad ke-15 dengan masuknya agama Islam, yang dibawa para pedagang asal Gujarat dan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Baca juga: Suku Baduy Dalam Tetap Setia Bersama Alam
Banyak rakyat Pajajaran beralih memeluk Islam, sehingga raja dan para pengikutnya mundur ke hutan belantara di selatan, meninggalkan kerajaan mereka. Keturunan dari pengikut kerajaan inilah yang kemudian menjadi penduduk Kampung Cibeo, komunitas utama Baduy Dalam.
Mereka dikenal dengan pakaian adat berupa baju putih tanpa kerah (“baju sangsang”), ikat kepala putih, dan sarung biru tua hasil tenunan sendiri. Masyarakat Baduy Dalam tetap menjalankan hukum adat dengan disiplin tinggi, berbeda dengan Baduy Luar yang mulai menerima unsur-unsur budaya modern, seperti penggunaan kendaraan dan pendidikan formal.
Orang Baduy Dalam tinggal di wilayah yang lebih terisolasi, dengan adat yang lebih ketat. Mereka mengenakan pakaian serba putih yang melambangkan kesucian.
Sementara itu, Baduy Luar yang tinggal di desa-desa sekitar seperti Cikadu, Kaduketuk, dan Gajeboh, sudah lebih terbuka terhadap modernisasi. Ciri khas mereka adalah pakaian berwarna hitam dan ikat kepala biru tua.
Baca juga: Gunung Ciremai, Wisata Alam Ke Atap Negeri Pasundan
Fakta Unik
Suku Baduy memiliki sejumlah fakta unik yang menarik perhatian. Mereka menetapkan wilayah keramat bernama Tanah Kanekes sebagai pusat budaya dan tradisi.
Masyarakat Baduy Dalam menyebut diri mereka sebagai orang Kajeroan, sementara Baduy Luar dikenal sebagai Orang Penamping. Salah satu tradisi penting mereka adalah upacara Seba, yaitu persembahan kepada pemerintah daerah yang telah dilakukan sejak masa Kesultanan Banten.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengutamakan kesederhanaan dengan menggunakan peralatan tradisional dan lebih memilih berjalan kaki meski harus menempuh jarak jauh. Kekayaan suku Baduy tidak diukur dari bentuk rumah, tetapi dari nilai-nilai adat dan harmoni yang mereka jaga.
Kesederhanaan, adat istiadat, dan kearifan lokal yang tetap terpelihara membuat suku Baduy menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Keberadaan mereka memberikan pelajaran berharga tentang hidup selaras dengan alam, menjunjung tinggi nilai budaya, dan menjaga warisan leluhur di tengah arus modernisasi. (Diolah dari berbagai sumber)