Sebuah ritual pemanggilan hujan bernama Cowongan, sejak dahulu dilakukan sebagian masyarakat di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Tradisi ini merupakan warisan budaya tak benda Indonesia yang masih dilestarikan hingga kini.
Tradisi Cowongan berakar dari upaya para petani di Banyumas memohon hujan agar panen mereka berhasil. Ketika musim kemarau panjang melanda, para petani mengalami kesulitan air untuk mengairi sawah dan ladang mereka.
Mereka pun mencari berbagai cara, baik secara lahiriah dengan mencari sumber air, maupun secara spiritual dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu cara spiritual yang dilakukan adalah melalui ritual Cowongan.
Dikutip dari cilacapkab.go.id, menurut cerita rakyat, pada masa lalu, ada sepasang suami istri bernama Ki Jayaraga dan Nyi Jayaraga. Pasangan ini menjalani tirakat selama 40 hari 40 malam untuk memohon petunjuk agar hujan turun.
Setelah menyelesaikan tirakat, mereka mendapat wangsit untuk mengambil siwur dari sebuah rumah warga yang dihuni orang tiga janda.
Siwur adalah alat untuk mengambil air peninggalan dari nenek moyang yang terdiri tiga bagian yakni tempurung kelapa, tangkai dari sebilah kayu dan kancing atau perekat.
Siwur itu kemudian berbicara kepada Nyi Jayaraga, meminta didandani seperti wanita dan dipanggil Nini Cowong. Nini Cowong meminta Ki Jayaraga dan istrinya untuk menggoyangkannya sambil menyanyikan lagu Siwur Tukung.
Ketika lagu selesai, petir menggelegar dan hujan deras turun selama tujuh hari tujuh malam.
Pelaksanaan Tradisi Cowongan
Tradisi Cowongan bertujuan memohon kesuburan tanah dan kesejahteraan masyarakat kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dalam kepercayaan Jawa. Ritual ini dilaksanakan dengan menggunakan berbagai mantra yang menjadi syarat mutlak.
Tradisi ini dilakukan malam Jumat Kliwon di bulan Kapat (September hingga Oktober) saat musim kemarau panjang. Ritual Cowongan dilakukan di berbagai wilayah seperti Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen.
Meskipun terdapat variasi lokal, tujuan utamanya tetap sama, yaitu memohon turunnya hujan. Kata “Cowongan” sendiri berasal dari “cowang-coweng” yang berarti corat-coret di wajah boneka Cowong, properti utama dalam ritual ini.
Boneka cowong ini dibuat dari siwur atau irus, yaitu sendok besar dari tempurung kelapa, yang dihias menyerupai putri. Tradisi ini harus dilakukan wanita dalam keadaan suci, tidak sedang menstruasi, nifas, atau baru berhubungan seksual.
Para peserta yang mengikuti tradisi ini kemudian menyanyikan tembang yang berisi doa-doa. Kecepatan hujan turun dianggap bergantung pada ritual-ritual yang dilakukan sebelum dan selama pelaksanaan Cowongan.
Cowongan Sebagai Kesenian
Seiring waktu berlalu, tradisi Cowongan tidak hanya dijalankan sebagai sebuah ritual semata, tetapi juga dikembangkan menjadi sebuah kesenian khas.
Cowongan kini dipadukan dengan gerak dan lagu, dilengkapi iringan musik, sehingga menjadi sajian seni yang menarik dan tetap memelihara nilai-nilai budaya leluhur.
Dengan demikian, tradisi Cowongan tidak hanya menjadi upaya spiritual masyarakat Banyumas untuk memanggil hujan. Akan tetapi juga menjadi bagian kekayaan budaya yang patut dilestarikan.
Ritual ini adalah wujud kearifan lokal yang menghubungkan manusia dengan alam serta kepercayaan akan kekuatan semesta yang dapat mempengaruhi kehidupan.(Dari berbagai sumber)