Batik Garut merupakan salah satu warisan budaya yang mencerminkan kekayaan seni dan tradisi masyarakat Sunda. Dikenal dengan istilah garutan, ciri khasnya memiliki warna dasar cerah dengan corak gambar yang sederhana.
Tradisi membatik di tanah Sunda, Jawa Barat telah dikenal sejak berabad-abad lalu, sebagaimana tercatat dalam naskah Siksa Kandang Karesian dari abad ke-16. Meski sejarah dimulainya tradisi membatik di Garut masih perlu diteliti.
Namun dipercaya tradisi membatik mulau ada saat Sunda di bawah kekuasaan Mataram pada abad ke-17. Pengaruh budaya itu mencakup penggunaan batik sebagai busana kaum ningrat.
Sejarah Batik Garutan
Batik Garut memiliki sejarah panjang yang berakar sejak masa kolonial Belanda.
Keterampilan membatik masyarakat Garut mendapat perhatian khusus dari Karel Frederick Holle. Dia adalah seorang administrator perkebunan teh di Bayongbong dan Cikajang.
Holle yang dikenal dengan julukan “Theejonker” atau pangeran teh.
Dia tertarik pada batik tulis Garut dan mulai mengajarkan serta membuka usaha batik sekitar abad ke-19. Seiring waktu, industri batik di Garut berkembang pesat, terutama dengan hadirnya pabrik tenun pada tahun 1930-an.
Pada masa itu Garut dikenal sebagai destinasi wisata menawan, sehingga dijuluki “Swiss van Java”.
Di sinilah batik Garut menjadi buah tangan yang dibawa pulang para pelancong. Sempat mengalami kelesuan pada masa pendudukan Jepang, batik Garut kembali bergeliat sejak 1970-an.
Menurut sumber lain, batik garutan berasal pada masa penjajahan Belanda yang mengadakan program peningkatan keterampilan kerajinan tangan untuk mendukung perekonomian masyarakat. Salah satunya di desa Garut.
Awalnya, motif batik yang dihasilkan sederhana dengan dominasi warna gelap. Namun, pada 1920-an, seorang pengrajin batik bernama Mas Bokiran menciptakan corak yang lebih inovatif. Ia mengambil inspirasi dari alam sekitar, seperti bunga, daun, dan burung, lalu mengaplikasikannya dengan sentuhan kreatif dalam batiknya.
Mas Bokiran juga berperan menyebarkan keterampilan membatik ke generasi berikutnya. Batik Garutan kian dikenal setelah memenangkan penghargaan Pekan Batik Nasional tahun 1978.
Hingga kini, pengrajin batik di Desa Garutan tetap mempertahankan teknik tradisional seperti penggunaan malam dan canting dalam pembuatan batik. Meskipun begitu mereka juga terus berinovasi dengan warna dan motif agar sesuai dengan tren modern.
Ciri Khas Batik Garutan
Salah satu ciri khas Batik khas ini ditandai dengan penggunaan warna-warna cerah seperti merah, kuning, hijau, dan biru. Coraknya biasanya berupa gambar sederhana seperti bunga, daun, atau burung. Corak ini terinspirasi dari alam sekitar Desa Garutan.
Garis motif batik Garut tidak serumit dan setipis motif batik daerah lain.
Motif batik Garutan sering kali dinamai berdasarkan bentuk visualnya. Misalnya, motif Lereng Surutu menyerupai bentuk cerutu. Kemudian ada Lereng Camat dan Lereng Dokter dinamai sesuai dengan profesi para pemakainya pada masa lalu.
Salah satu motif unik lainnya adalah Drintin, yang terinspirasi dari keberadaan Kebun Binatang di Bandung dan menggambarkan pengaruh budaya lokal serta kolonial.
Tercatat ada sekitar 40 jenis motif tradisional batik Garut, yang terus berkembang.
Motif-motif seperti Lereng Dokter, Tanjung Anom, dan Tumpal mencerminkan sejarah serta identitas masyarakat Garut. Tak ada aturan khusus dalam penamaan motif batik Garut. Umumnya penamaan lebih ditekankan pada sisi visual.
Batik Garut mengalami masa kejayaan antara tahun 1967 hingga 1985. Namun, popularitasnya sempat meredup sebelum akhirnya kembali mendapat perhatian pada awal 2000-an. Dengan sejarah panjang dan nilai budayanya yang mendalam (Dari berbagai sumber)