Wahyu Sardono atau tekenal dengan sebutan Dono Warkop merupakan pelawak legendaris Indonesia. Selain sebagai pelawak, dia juga merupakan sosok intelektual cerdas dan kritis.
Dono dilahirkan di Delangu, Klaten, Jawa Tengah. Dono meneruskan pendidikan tingginya di Universitas Indonesia, jurusan Sosiologi.
Saat menjadi mahasiswa, Dono bekerja di redaksi surat kabar kampus, di antaranya di Tribun dan Salemba, sebagai karikaturis.
Dono juga pernah aktif sebagai staf artistik di Tema, majalah mahasiswa independen. Majalah itu tak terikat dalam struktur kampus. Dananya dari kantong sendiri.
Selain itu, dia juga merupakan anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Rudy Badil, Kasino, dan Nanu juga menjadi anggota Mapala bersama Dono.
Tak heran jika film-film Warkop DKI yang banyak adegan mereka sebagai pecinta alam.
Memasuki tahun kelima sebagai mahasiswa Sosiologi UI, Dono diangkat menjadi asisten dosen. Beberapa kali, Dono bertugas mengajar kuliah umum ketika Prof. Selo Sumardjan, guru besar ilmu sosiologi di UI, berhalangan hadir.
Setelah menamatkan kuliahnya, Dono sempat menjadi dosen, tetapi tidak lama. Dono lebih memilih untuk menggeluti dunia film bersama Kasino dan Indro.
Sosok yang Kritis
Dibalik pekerjaannya sebagai pelawak, Dono dikenal sebagai sosok yang kritis. Ia kerap menyampaikan pemikirannya baik melalui aksi demo, media tulisan dan gambar.
Beberapa tulisannya yang populer adalah tentang kisah polisi lalu-lintas bernama Sertu Jumadi dan polah kelas menengah di Indonesia.
Dono aktif memberikan kritik terhadap penyimpangan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat, baik melalui aksi demonstrasi maupun melalui media tulisan dan gambar.
Pada 15 Januari 1974, bersama Kasino dan Nanu turut serta dalam aksi demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi itu sebagai bentuk protes atas kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap terlalu berpihak pada investasi asing.
Menurut cerita Kasino, pada peristiwa yang berujung rusuh itu, Dono tampil sebagai salah satu orator.
Pada 1998, Dono kembali ikut terlibat dalam demonstrasi mahasiswa. Dia menjadi salah satu aktivis yang ikut menyusun lahirnya Reformasi 1998. Ia menyiapkan terms of reference untuk seminar-seminar, mengatur kunjungan ke DPR, hingga menyiasati demo-demo mahasiswa.
Dono juga aktif menyuarakan kritik sosialnya melalui gambar karikatur yang menyindir situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Beberapa gambarnya dimuat di koran milik Angkatan Laut El Bahar, Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba, dan majalah Vista.
Dono juga sempat menjadi penulis novel. Di antara karya-karyanya adalah Balada Paijo (1987), Cemara-cemara Kampus (1988), Bila Satpam Bercinta (1999), Dua Batang Ilalang (1999), dan Senggol Kiri Senggol Kanan pada 2009.
Salah satu karnyanya, Dua Batang Ilalang, mengisahkan tentang seorang mahasiswa yang dikeluarkan kampusnya karena terlibat aksi menentang pemerintah.
Warkop DKI
Pada tahun 1975, Dono bergabung dalam program radio bernama Obrolan Santai di Warung Kopi Prambors bersama Kasino, Nanu Moeljono, dan Rudy Badil. Setahun kemudian, pada 1976, Indro bergabung menjadi anggota.
Kelompok pengisi acara itu kemudian dinamai sebagai “Warkop Prambors.” Acara ini tayang setiap Kamis malam dari pukul 20.30 hingga 21.15 WIB. Temanya membahas berbagai isu yang tren pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan politik dan sosial kemasyarakatan.
Setelah lulus kuliah dan sempat menjadi dosen, dia memutuskan untuk fokus di dunia hiburan bersama kelompok lawak Warkop.
Pada saat itu, Warkop mulai memberanikan diri untuk muncul di luar siaran radio melalui acara Terminal Musikal yang diproduseri Mus Mualim. Acara itu ditayangkan di TVRI.
Pada tahun 1980, film pertama Warkop yang berjudul Mana Tahaaan… dirilis. Film tersebut mendapatkan kesuksesan yang besar. Kemudian, antara tahun 1980 sampai 1995, Warkop Prambors berganti nama menjadi Warkop DKI.
Kelompok ini sudah membintangi 34 film komedi dan satu film dokudrama. Selama periode tersebut, Warkop biasanya hanya merilis dua film yang disesuaikan dengan masa liburan Idul Fitri atau liburan Natal dan Tahun Baru.
Warkop juga telah mengeluarkan 12 album kompilasi lawak dan lagu. Dua diantaranya berkolaborasi bersama kelompok Pancaran Sinar Petromak dan kelompok Srimulat. Dono Warkop juga menjadi produser dan penulis skenario untuk film Peluk Daku dan Lepaskan (1991)
Saat menjadi pelawak di Warkop DKI, sikap kritis Dono tidak mengendur. Salah satu bentuk kritik sosial Warkop DKI adalah ungkapan satir: Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Ungkapan itu dimaksudkan sebagai sindiran kepada pemerintah Orde Baru yang kerap memberangus karya yang kritis pada pemerintahan.
Pada 30 Desember 2001 Dono meninggal dunia. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi kita dunia sinema Indonesia. (Dari berbagai sumber)