Sosok Hardi dikenal sebagai seorang perupa dan budayawan Indonesia yang populer dengan karya-karya ekspresionisnya serta kritik sosial yang tajam. Lukisan bertajuk Presiden RI 2001, hingga kini menjadi salah satu karya masterpiece-nya.
Hardi lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 26 Mei 1951. Melansir dari laman tokoh.id, Hardi memulai karier sebagai pelukis pada dekade 70-an di Bali.
Dia mengasah kemampuan melukisnya di Ubud, Bali, bersama seniman W. Hardja dan Anton Huang.
Hardi juga melanjutkan pendidikan formal di Akademi Seni Rupa Surabaya dan STSRI ASRI Yogyakarta pada tahun 1971. Empat tahun kemudian, Hardi melanjutkan studi di De Jan Van Eyck Academie di Maastricht, Belanda.
Selama perjalanan kariernya, ia berguru kepada seniman-seniman ternama seperti Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs. Sudarmadji.
Seniman Kontroversial
Hardi memiliki kepribadian terbuka dan blak-blakan. Hal ini tercermin dalam karya-karyanya yang mencakup berbagai tema dari filosofis, historis, religius, sosial, humanistik, dan politik.
Karya-karyanya diwujudkan dalam bentuk seni grafis, lukisan, kolase foto seni, dan sketsa hitam putih. Momen kontroversial terjadi 5 Desember 1978. Hardi ditahan Laksusda Jaya karena lukisannya “Presiden tahun 2001, Soehardi.”
Lukisan itu merupakan protes terhadap rezim Orde Baru yang represif dan militeristik. Karena dianggap makar, ia sempat ditahan. Namun, berkat bantuan Wakil Presiden saat itu, Adam Malik, Hardi dibebaskan.
Hardi dikenal sebagai sosok yang tidak gentar melontarkan kritik tajam terhadap dunia seni dan perilaku para penguasa. Ia pernah mengecam galeri yang mengorbitkan pelukis tanpa mempertimbangkan mutu.
Selain itu dia juga mengkritik karya seni kontemporer yang dianggapnya kehilangan gairah realitas sosial. Menurutnya, banyak seniman kontemporer tenggelam dalam penjelajahan estetis tanpa memperhatikan peristiwa sosial yang signifikan.
Baca juga: Affandi, Pelukis Maestro dengan 2000 Lukisan
Seniman Kritis
Pada April 2011, Hardi kembali disorot karena lukisannya yang menggambarkan orang buang hajat di atap gedung DPR. Lukisan ini sebagai simbol kritik terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR yang menelan biaya triliunan rupiah.
Ia menilai perilaku anggota dewan membuat lembaga ini tidak lagi dipercaya rakyat. Hardi juga mengkritik kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggapnya lembek dan enggan menggunakan kewenangannya memerintah.
Ia menyoroti krisis kepemimpinan di Indonesia dan mengingatkan bahwa banyak yang sudah melupakan Pancasila dan sejarah. Selain itu, Hardi juga mengkritik para budayawan pasca reformasi yang sering dimanfaatkan kepentingan politik
Dia mengkritisi budayawan yang lupa jati diri sebagai pencipta karya. Ia menekankan pentingnya kritik yang disampaikan melalui karya, bukan dengan cara menghina atau menjelekkan.
Karya dan Pameran
Sejak tahun 1976, Hardi aktif menggelar pameran di dalam dan luar negeri. Beberapa diantaranya yaitu di Heerlen, Belgia; Taman Ismail Marzuki; Bentara Budaya; dan Balai Budaya.
Karya-karyanya dikoleksi berbagai tokoh dan institusi, seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi, Museum Neka Ubud, dan Bank Indonesia. Selain itu karyanya juga dikoleksi Keluarga Cendana, menteri-menteri kabinet Orde Baru dan Orde Reformasi, tokoh-tokoh nasional dan lainnya.
Pada 18 April hingga 18 Mei 1999, Hardi mengadakan pameran tunggal di Graha Budaya Indonesia di Tokyo. Kemudian, pada akhir Mei 2008, ia berpartisipasi dalam pameran bersama bertajuk “Manifesto” di Galeri Nasional.
Disini dia menampilkan karya berjudul “Waiting For The Death Penalty” yang bertema tersangka terorisme. Selanjutnya, pada 17-26 Juli 2011, ia menggelar pameran retrospektif dan meluncurkan buku “Pameran Seni Rupa Retrospektif Hardi 60 Tahun” di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Hardi meninggal dunia pada 28 Desember 2023, meninggalkan warisan karya seni yang kaya dan pengaruh yang signifikan dalam dunia seni rupa Indonesia.
Untuk mengenang perjalanan seniman ini, Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran bertajuk “Jejak Perlawanan ‘Sang Presiden 2001’ – Tribut untuk Hardi (1951-2023),” 9-26 Januari 2025.
“Kalau kita lihat ada lukisan-lukisan dari tahun 70-an, tahun 80-an. Waktu itu, kritik-kritik Hardi itu bisa dituangkan di dalam kanvas, dan juga mendapatkan atensi tentu saja dan apresiasi dari berbagai media ketika itu,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon usai membuka pameran tersebut di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.