By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
emmanus.comemmanus.comemmanus.com
  • Beranda
  • Berita
  • Profil
  • Event
  • Tradisi
  • Warisan Budaya
  • Cerita Rakyat
  • Pariwisata
Reading: Menggali Makna Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
emmanus.comemmanus.com
Font ResizerAa
Search
  • Berita Kategori
    • Berita
    • Profil
    • Event
    • Tradisi
    • Pariwisata
    • Cerita Rakyat
    • Warisan Budaya
Follow US
©2024 PT Emma Media Nusantara. All Rights Reserved.
emmanus.com > Blog > Warisan Budaya > Menggali Makna Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Warisan Budaya

Menggali Makna Sumbu Kosmologis Yogyakarta

Ridwan
Last updated: 16/10/2024 13:44
Ridwan
Share
3 Min Read
Ilustrasi Sumbu Kosmologis Yogyakarta. Foto: regional.bappenas.go.id
SHARE

Sumbu Kosmologis Yogyakarta, yang dikenal juga sebagai “The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks”, telah resmi diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Pengumuman ini disampaikan dalam pertemuan ke-45 Komite Warisan Dunia UNESCO yang berlangsung pada 18 September 2023 di Riyadh, Saudi Arabia.

Dengan pengakuan ini, Yogyakarta kini memiliki enam Warisan Budaya Dunia dari Indonesia yang diakui oleh UNESCO, menyusul “Kompleks Candi Borobudur (1991)”, “Kompleks Candi Prambanan (1991)”, “Situs Prasejarah Sangiran (1996)”, “Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012)”, dan “Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019)”.

Penerimaan status sebagai Warisan Budaya Dunia ini melalui seleksi berdasarkan beberapa kriteria, termasuk pertukaran nilai dan gagasan penting antara beragam sistem kepercayaan, mulai dari animisme, Hindu, Buddha, Islam Sufi, hingga pengaruh budaya Barat.

Menurut penjelasan di laman resmi Kemendikbud, Sumbu Kosmologis Yogyakarta merupakan garis imajiner yang membentang sepanjang 6 kilometer dari utara ke selatan. Garis ini menghubungkan Panggung Krapyak di selatan, Keraton Yogyakarta di tengah, dan Tugu Pal Putih di utara.

Namun, Sumbu Kosmologis Yogyakarta lebih dari sekadar garis imajiner. Garis ini memiliki makna spiritual yang mendalam dalam konteks budaya Jawa. Gagasan ini dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, saat beliau merancang Kota Yogyakarta dengan mengikuti prinsip-prinsip Jawa yang terinspirasi oleh lingkungan alam.

Prinsip utama yang menjadi fondasi pembangunan ini adalah “Hamemayu Hayuning Bawono”, yang berarti menciptakan alam yang indah dan aman. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk sumbu imajiner yang melambangkan keseimbangan hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam, dengan berlandaskan lima unsur: api dari Gunung Merapi, tanah dari bumi Ngayogyakarta, air dari Laut Selatan, angin, dan akasa.

Garis imajiner ini juga merepresentasikan siklus hidup manusia sesuai dengan pemahaman “Sangkan Paraning Dumadi”. Sebagai contoh, perjalanan dari Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta melambangkan konsep “sangkan” (asal) dan proses pendewasaan manusia. Panggung Krapyak, sebagai titik awal, melambangkan kelahiran, sedangkan perjalanan menuju Keraton mewakili fase kehidupan manusia dari rahim hingga berkeluarga.

Warna putih pada Tugu Yogyakarta menandakan kesucian hati, sehingga perjalanan dari tugu tersebut ke arah Keraton menjadi simbol perjalanan spiritual manusia menghadap Sang Pencipta, sejalan dengan konsep “paraning”.

Sebagai kota yang dikenal dengan kekayaan wisatanya, Yogyakarta memiliki banyak lokasi menarik di sekitar Sumbu Kosmologis yang menawarkan pengalaman budaya dan sejarah yang kaya. 

Di kawasan selatan, pengunjung dapat menemukan Panggung Krapyak, berbagai gerbang dan kubu pertahanan, serta kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan alun-alun. Ada juga “Kompleks Tamansari” dan “Masjid Gede” yang tidak boleh dilewatkan.

Sementara di bagian utara Sumbu Kosmologis, Anda bisa menjelajahi Pasar Beringharjo, Kompleks Kepatihan, dan Monumen Tugu Yogyakarta. Banyak aktivitas menarik yang bisa dilakukan, mulai dari jalan-jalan, mencicipi kuliner khas, hingga berbelanja produk lokal sebagai oleh-oleh. (Achmad Aristyan – Sumber: kemenparekraf.go.id)

You Might Also Like

Filosofi Penjor, Wujud Syukur Umat Hindu di Hari Raya Galungan

Mahasiswi Mesir Bikin Aplikasi Belajar Gamelan

Situs Dharmasala Dieng, Tempat Peristirahatan Peziarah Kuno

Tetenong, Produk Lokal Khas Kampung Wisata Binong

5 Kebudayaan Unik Suku Mentawai di Sumatera Barat

Sign Up For Daily Newsletter

Be keep up! Get the latest breaking news delivered straight to your inbox.
[mc4wp_form]
By signing up, you agree to our Terms of Use and acknowledge the data practices in our Privacy Policy. You may unsubscribe at any time.
Share This Article
Facebook X Copy Link Print
Share
By Ridwan
Content Editor
Previous Article Ragam Tradisi Lokal untuk Menjaga Kelestarian Bumi Indonesia
Next Article Totopong, Ikat Kepala Khas Orang Sunda
Leave a comment Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media

2kFollowersLike
4kFollowersFollow
2.4kSubscribersSubscribe
18kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Terbaru

Munusa Championship Digelar di Wonosobo, Wadah Kreativitas dan Sportivitas Pelajar
Berita 30/05/2025
Indonesia dan Prancis Bangun Kemitraan Budaya untuk Pererat Hubungan Diplomatik
Berita 29/05/2025
Kodim Wonosobo dan Bulog Jemput Bola Serap Gabah Petani Sojokerto
Berita 29/05/2025
penulisan ulang sejarah Indonesia
DPR Setujui Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Target Rampung Tahun 2027
Berita 28/05/2025
- Advertisement -

Quick Link

  • Kontak Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Media Siber

Top Categories

  • Profil
  • Event
  • Tradisi
  • Warisan Budaya

Stay Connected

200FollowersLike
4kFollowersFollow
2.4kSubscribersSubscribe
18kFollowersFollow
emmanus.comemmanus.com
Follow US
© 2024 PT Emma Media Nusantara. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Nama Pengguna atau Alamat Email
Kata Sandi

Lupa kata sandi Anda?