Kekayaan budaya dan tradisi di Indonesia dikenal memiliki ciri khas tersendiri, salah satunya seperti seni Lukah Gilo. Seni ini berakar dari tradisi masyarakat Melayu di Sumatera yang menyimpan unsur magis yang kuat dalam gerakannya.
Lukah Gilo adalah kesenian tradisional dari Suku Minangkabau, Sumatera Barat, yang mirip dengan jailangkung yang dikendalikan seorang pawang.
Dalam pementasannya, Lukah atau bubu, didandani menyerupai manusia dengan sebuah kayu panjang dimasukkan ke dalamnya untuk membentuk tangan. Sedangkan ujung lukah yang lancip ditancapkan sebuah labu membentuk kepala.
Kekuatan Magis
Dilansir dari Wikipedia, dalam permainan rakyat ini dua lelaki (peladen) duduk berhadapan memegang bagian bawah lukah sambil dukun membacakan mantra.
Ketika mantra mulai dilantunkan, kedua lelaki itu menggoyang-goyangkan lukah dengan cepat, bergerak ke kanan dan ke kiri, adakalanya berputar-putar.
Dalam beberapa kasus, mereka harus berdiri sambil tetap memegang lukah, tetapi akhirnya tak mampu mengendalikan kekuatan gaib di dalamnya, melepaskan pegangan mereka hingga lukah terjatuh. Pada saat lukah terlepas, daya magis yang terkandung dalam lukah pun sirna.
Permainan yang hidup dan berkembang di Jambi, Riau, Sijunjung, Pesisir Timur Sumatera Utara, dan daerah lainnya di Sumatera, tidak hanya berkaitan dengan cara nelayan menangkap ikan, tetapi juga mengandung elemen supranatural.
Lukah yang terbuat dari bambu atau rotan ini diberi mantra agar ikan menjadi “gilo” atau mabuk dan terperangkap di dalam lukah. Tradisi ini berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat, yang mempercayai kekuatan spiritual dalam berbagai bentuk.
Media Pengobatan
Ketika masyarakat membutuhkan hiburan, lukah gilo dikembangkan menjadi sarana hiburan dan pengobatan, serta sering dilakukan dalam bentuk pertunjukan, biasanya pada malam hari karena dianggap waktu yang tepat untuk memanggil roh dan dimasukkan ke dalam lukah.
Menurut Desfiarni dalam “Tari Lukah Gilo,” pertunjukan ini dipimpin seorang dukun, yang disebut kulipah dalam bahasa Minang atau bomoh dalam bahasa Melayu. Dalam pertunjukan ini, lukah bisa bergerak liar setelah dimantrai, mirip dengan jailangkung yang dikendalikan seorang dukun.
Secara kosmologi, tradisi ini menunjukkan perlunya manusia menjaga hubungan dengan alam, termasuk alam gaib, di mana alam menyediakan segala kebutuhan hidup. Merusak alam berarti merusak urat nadi kehidupan dan juga tatanan alam gaib.
Pemanggilan roh dengan medium mantra dalam tarian ini dimaksudkan untuk mengambil hati dan mendamaikan hati roh-roh. Dalam pertunjukan lukah, roh telah dihargai keberadaannya, sehingga mereka menjadi damai dan tidak mengganggu manusia di sekitarnya.
Gerak Teatrtikal
Tarian ini sering dipentaskan dalam upacara pengangkatan penghulu, perhelatan Nagari, serta upacara perkawinan, menginspirasi lahirnya garapan tari lukah gilo. Lukah gilo pada awalnya tidak disertai dengan unsur seni lain seperti musik, vokal, atau instrumen.
Namun, seiring perkembangannya, pertunjukan ini mulai mengadopsi elemen-elemen seni lainnya, seperti musik pengiring, serta pemilihan kostum yang sesuai, bahkan lukah pun bisa diintegrasikan sebagai bagian dari tari.
Tarian ini tidak hanya menampilkan gerak fisik, tetapi juga menghadirkan gerakan teatrikal, yang mencakup ayunan tangan, hentakan kaki, serta gerakan badan yang mengayun. Penari juga bisa menari di atas, di bawah, atau di dalam lukah, memegangnya di kepala, badan, atau tangan.