Monumen Pers Nasional menjadi saksi lahirnya radio pribumi pertama, cikal bakal RRI, dan berdirinya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946.
Terletak di Jl Gajah Mada dan Jl Yosodipuro, Kota Surakarta, monumen ini dikenal dengan nama “Societeit Sasana Soeka”
Dikutip dari Indonesia.go.id, awalnya, bangunan Monumen Pers Nasional merupakan balai berkumpulnya para penghuni Pura Mangkunegaran.
Berdiri pada 1918 atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara VII, gedung itu dulunya bernama Societeit Sasono Soeko Mangkunegaran.
Letaknya di sebelah barat Pura Mangkunegaran. Bangunan Monumen Pers ini terbagi menjadi dua bagian. Yaitu bangunan lama dan baru. Bangunan lama didirikan pada tahun 1918 yang terletak di tengah, menghadap ke arah timur laut.
Saksi Peristiwa Bersejarah
Perancangnya adalah Mas Aboekassan Atmodirono, arsitek pribumi pertama di Nusantara. Menurut buku “Monumen Pers Nasional: Spirit Journalist of Indonesia”, bangunan ini memadukan antara gaya Timur dan Barat.
Pada gaya Timur dapat dilihat dari desain gedung yang diwakili bentuk cakrik atau fasad menyerupai Candi Borobudur. Sedangkan gaya Barat terlihat dari bentuk jendela, pintu, dan langit-langit tinggi, khas arsitektur art deco Eropa.
Tak hanya sebagai tempat berkumpulnya keluarga besar Pura Mangkunegaran, gedung itu juga sarat oleh fungsi sosial yang tinggi. Sasono Soeko pernah dijadikan tuan rumah rapat pendirian Solosche Radio Vereeniging (SRV) atau Perkumpulan Radio Solo pada 1 April 1933.
Stasiun radio inilah yang pertama pribumi berformat siaran budaya ketimuran. Dikelola Sarsito Mangunkusumo, insinyur lulusan Techniche Hogeschule Delft, Belanda bergelar raden mas.
Museum Pers Nasional
Mengutip buku Babad Sala, studio SRV berhasil berdiri di atas lahan pemberian Mangkunegara VII seluas 6.000 m2 yang berlokasi di Kampung Kestalan.
Pada 29 Januari 1936, siaran SRV mulai mengudara diawaki para angkawasan pejuang seperti Sarsito. SRV adalah cikal bakal lahirnya Radio Republik Indonesia.
Sasono Soeko sempat pula menjadi markas Palang Merah Indonesia Surakarta dan tempat rapat Bumiputera pada 1934. Kemudian pada pada 9 Februari 1946 dijadikan Konferensi Wartawan Jawa yang diikuti 50 wartawan.
Pertemuan ini melahirkan Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI. Pemrakarsanya adalah Sumanang, BM Diah, Sumantoro, Mashudi Darmosugito, Safiudin, RM Sadono Dibjowirojo, RM Darmosugondo, Surono, dan Sulistio.
Diprakarsai Rosihan Anwar dan BM Diah berdiri Yayasan Museum Pers Indonesia, 9 Februari 1956i. Saat kongres di Palembang, 9 Februari 1970, tercetuslah niat membangun Museum Pers Nasional.
Kemudian tiga tahun setelahnya, disempurnakan lewat Kongres Tretes menjadi Monumen Pers Nasional. Tepat saat peringatan empat windu PWI, 9 Februari 1978, Monumen Pers Nasional diresmikan Presiden RI Kedua, Soeharto.
Cagar Budaya Nasional
Sasono Soeko pun dipilih sebagai bagian Monumen Pers Nasional. Terdiri dari satu unit bangunan induk dijadikan convention hall, dua unit bangunan berlantai dua mengapit sayap kanan-kiri untuk Balai Budaya dan Wisma.
Satu unit lainnya yang berlantai empat di belakang bangunan induk digunakan untuk ruang dokumentasi, konservasi, dan preservasi. Di bagian depan Monumen Pers Nasional dilakukan penambahan ornamen seperti lambang negara Garuda Pancasila.
Kemudian, di pintu masuk monumen dibuat ornamen empat naga telentang yang dinamai Catur Manggala Kura. Lambang Garuda dan Catur Manggala Kura adalah ciptaan seniman patung terkemuka Surakarta, Udiyanto Kursin. Sejak 22 Juni 2015 Monumen Pers Nasional ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.