Buku bertajuk “Pesantren, Anti Bullying dan Kekerasan Seksual” karya Bunda Literasi Jawa Tengah, Nawal Arafah Yasin, mendapatkan sambutan positif dari pegiat literasi dan orang tua santri di Kota Semarang.
Buku ini dinilai memberikan kontribusi penting dalam upaya mewujudkan lembaga pendidikan maupun di lingkungan pesantren yang “wellbeing management”. Dalam acara peluncuran yang digelar di Perpustakaan Daerah Jawa Tengah, Jumat (16/5/2025), sejumlah tokoh literasi menyampaikan dukungannya.
Apresiasi Buku Nawal Arafah
Asmariyah, seorang pegiat literasi asal Yogyakarta, mengapresiasi kehadiran buku ini dan menyebut bahwa isu perundungan di dunia pendidikan, termasuk pondok pesantren, merupakan kenyataan yang masih terjadi.
“Saya berharap, buku ini menyebar ke pondok pesantren, khususnya apa yang diutarakan bunda benar adanya mengenai kekerasan bullying,” tuturnya dilansir dari jatengprov.go.id.
Senada dengan itu, Tirta, pegiat literasi sekaligus orang tua santri, menilai buku tersebut otentik karena ditulis dari perspektif orang dalam dunia pesantren, mengingat Nawal sendiri dibesarkan di lingkungan tersebut. Ia juga menyampaikan harapan agar komunitas literasi dapat terlibat lebih jauh dalam gerakan yang diinisiasi Nawal.
“Setelah buku ini muncul, setelah ibu menjadi bunda literasi, dan Ketua PKK, bagaimana kami sebagai pegiat literasi bisa terlibat di DP3AP2KB, untuk ikut terlibat di sini,” tuturnya.
Nawal Arafah Yasin sendiri menyebut buku tersebut lahir dari keprihatinannya terhadap maraknya kasus perundungan di pesantren. Menurutnya, lembaga pendidikan perlu menerapkan wellbeing management sebagai upaya pencegahan.
Baca juga: Kemenpar Susun Regulasi Wisata Edukasi yang Aman dan Inklusif

Tiga Prinsip Penting Lembaga Pendidikan
Ia menekankan tiga prinsip penting yang harus diterapkan lembaga pendidikan, yakni lingkungan yang aman (safe environment), inklusif, dan kolaboratif. Mengutip data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Nawal menyebut bahwa sepanjang tahun 2024 tercatat 573 kasus bullying dan kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Ia menyebut perundungan dan kekerasan sebagai fenomena gunung es yang memerlukan kesadaran dan kolaborasi lintas pihak untuk ditangani.
“Maka membutuhkan kesadaran bersama membutuhkan kolaborasi bersama. Maka ketika buku ini harus disebarluaskan, tentu ini sangat baik, dan diharapkan memiliki dampak dan kontribusi positif,” tutur Nawal.
Baca juga:Kemenpar Susun Regulasi Wisata Edukasi yang Aman dan Inklusif
Dikatakan, pada buku ini tidak membeberkan kasus per kasus bullying atau kekerasan seksual. Di dalamnya menawarkan konsep lembaga pendidikan, khususnya pondok pesantren ramah anak dan perempuan.
Selain pencegahan, buku ini juga menekankan pentingnya pendampingan psikologis dan pemberian afirmasi positif bagi korban maupun pelaku, agar mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan dan berkembang secara sehat.
“Budaya yang harus dibangun seperti apa, kemudian ketika ada korban apa yang harus dilakukan, kemudian sebagai penunjuk bagaimana langkah ketika ada antibullying dan kekerasan, dan bagaimana pencegahannya,” imbuh Nawal.