Pemakaman Terpadu Cikadut merupakan kompleks pemakaman Tionghoa terbesar di Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Pemakaman ini termasuk warisan budaya Kota Bandung yang telah ada sejak 1800-an.
TPU Terpadu Cikadut atau dikenal dengan sebutan Kuburan Cina memiliki aspek budaya yang unik adalah tradisi pemakaman mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Bandung yang beragama Islam. Dilansir dari halaman pemkot bandung, menurut buku Toponimi Kota Bandung karya T. Bachtiar, Etti R.S., Anto Sumiarto, dan Tedi Permadi, Nama “Cikadut” bermula pada era pemerintahan Hindia Belanda ketika dikeluarkan peraturan Re-Organisasi Priangan pada tahun 1870.
Peraturan ini memperbolehkan pemodal swasta membuka usaha di wilayah Priangan, termasuk di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Cikadut. Di sebelah utara daerah ini, terdapat dua perusahaan ternak sapi potong milik orang asing yang dijual ke pasar tradisional.
Pada tahap pemotongan, bagian daging dan jeroan sapi, termasuk kadut (perut sapi), dipisahkan dan dikumpulkan di sebuah lumbung, kemudian dibersihkan dan isi jeroan atau kadut sapi dibuang ke sungai. Sehingga kawasan sekitar tempat pembuangan kadut sapi ini kemudian dikenal dengan sebutan Cikadut.
Pemakaman Cikadut diperkirakan sudah ada sejak tahun 1909. Salah satu makam tertua adalah makam Ong Kwi Nio, yang bersebelahan dengan makam Tan Joen Liong, seorang luitenant Tionghoa di Bandung. Keberadaan makam ini mengingatkan akan rumah kolonial di Bandung pada tahun 1900-an, dengan dua pilar di beranda dan atap yang khas.
Selain itu, Pemakaman Cikadut juga terdapat makam Ibu Djuriah, seorang Tionghoa beragama Islam, serta makam bersama satu keluarga korban kecelakaan. Setiap makam di TPU Terpadu Cikadut memiliki cerita dan nilai sejarah yang tinggi. Hal inilah yang menunjukkan bagaimana kehidupan di Bandung dipenuhi dengan keragaman budaya dan agama.
Pada 14 Oktober 1961, TPU Terpadu Cikadut memiliki area kremasi pemakaman yang didirikan oleh Yayasan Krematorium Bandung yaitu oleh sembilan pedagang Tionghoa yang tinggal di Bandung.
Kesembilan orang tersebut adalah Tjon Way Lie, Oey Tjin Hon, Oey Tin Bouw, Tan Po Hwee, Tan Tjiauw Djien, Tjiao Tjin Host, Khuow Tjeng Loen, Tan Tek Jam dan Lo Siauw Tjong. Mereka mengumpulkan uang sejumlah Rp 15.000 untuk membangun Jajasan Crematorium Bandung yang saat ini telah berubah ejaannya. Hingga saat ini krematorium masih melayani proses kremasi sesuai tradisi Hindu dan Buddha.
Pemakaman Cikadut dengan segala sejarahnya, adalah warisan budaya yang patut dijaga dan dilestarikan. Diketahui kini, pemakaman ini telah menjadi TPU Terpadu yang dikelola oleh Pemerintah Daerah untuk tempat pemakaman jenazah/kerangka jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan. (Anisa Kurniawati-Diskominfo Kota Bandung)