Putri Mandalika merupakan salah satu cerita rakyat populer yang dikenal luas sejak lama di masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya di Pulau Lombok.
Nama Mandalika kini semakin dikenal karena diabadikan sebagai nama sirkuit internasional, Pertamina Mandalika International Circuit, yang disebut sebagai salah satu destinasi wisata otomotif paling eksotis di dunia.
Namun, di balik keindahan sirkuit ini, terdapat legenda dari Suku Sasak yang menjadi asal-usul namanya. Legenda ini juga menjadi dasar dari upacara adat tahunan Bau Nyale, yang kini telah berkembang menjadi festival pariwisata.
Dalam tradisi ini, masyarakat menangkap nyale, yaitu cacing laut berwarna-warni yang diyakini sebagai jelmaan Putri Mandalika. Konon, cacing-cacing ini hanya muncul setiap tanggal 20 bulan ke-10 dalam kalender tradisional Sasak.
Hari itu bertepatan dengan hari ketika Putri Mandalika mengorbankan dirinya demi menghindari konflik di antara para pangeran yang memperebutkan dirinya.
Putri dari Kerajaan Sekar Kuning
Melansir dari YouTube Riri Cerita Anak Interaktif, cerita ini bermula dari sebuah kerajaan bernama Sekar Kuning yang terletak di negeri Tonjeng Beru, dekat Samudra Hindia. Raja Raden Panji Kusuma, yang juga dikenal sebagai Tonjeng Beru, memimpin kerajaan bersama istrinya, Dewi Seranting.
Keduanya memerintah dengan bijaksana, sehingga rakyat hidup makmur dan damai. Saat pasangan raja dan ratu ini dianugerahi seorang putri, kebahagiaan menyelimuti seluruh kerajaan.
Putri itu diberi nama Mandalika, yang tidak hanya cantik, tetapi juga rendah hati, bijaksana, dan sangat peduli terhadap rakyat. Kepeduliannya membuat Putri Mandalika sangat dicintai rakyatnya.
Baca juga: Babad Lombok, Menguak Letusan Dahsyat Gunung Samalas
Lamaran Para Pangeran dan Awal Konflik
Saat beranjak dewasa, kecantikan Putri Mandalika tersebar hingga ke berbagai kerajaan. Hal ini menarik perhatian para pangeran, yang kemudian berdatangan mengajukan lamaran.
Belasan pangeran, membawa hantaran berupa emas, sutra, hingga makanan khas daerah masing-masing, berusaha memenangkan hati sang putri. Namun, bukan kebahagiaan yang dirasakan Putri Mandalika. Lamaran-lamaran ini justru menjadi beban berat baginya.
Para pangeran mulai bersaing secara tidak sehat, bahkan mengancam untuk berperang jika lamaran mereka ditolak. Putri Mandalika merasa bimbang, menyadari bahwa pilihannya bisa memicu konflik besar yang akan merugikan rakyat.
Pengorbanan Putri Mandalika
Putri Mandalika akhirnya memutuskan untuk meminta petunjuk dengan cara bersemedi di tebing Pantai Seger. Setelah tiga hari, ia mengundang para pangeran dan rakyat berkumpul pada pagi hari tanggal 20 bulan ke-10 kalender Sasak.
Di hadapan semua orang, sang putri menyampaikan keputusan mengejutkan. Ia menerima semua lamaran para pangeran, dengan alasan itulah kehendak Yang Maha Kuasa.
Namun, alih-alih menikah, Mandalika menyatakan bahwa pengorbanan dirinya adalah jalan terbaik untuk menghindari peperangan dan memastikan kesejahteraan rakyat.
Setelah berkata demikian, dia pun melompat ke laut dari atas tebing, diiringi teriakan haru rakyat dan keluarganya. Ombak besar menelan tubuhnya, dan ia tidak pernah ditemukan kembali.
Sebagai gantinya, muncul cacing-cacing laut berwarna-warni yang diyakini sebagai jelmaan sang putri. Hingga kini, tradisi Bau Nyale terus dilestarikan sebagai simbol pengorbanan Mandalika.
Selain menjadi daya tarik wisata, upacara ini juga memperkuat identitas budaya masyarakat Lombok dan mengingatkan generasi muda untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebijaksanaan dan kepedulian terhadap sesama.