Mundinglaya Dikusumah adalah cerita rakyat terkenal dari masyarakat Sunda. Kisah ini menceritakan perjalanan seorang pangeran yang menjadi raja pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi di Kerajaan Sunda atau Pajajaran.
Pajajaran, nama yang sering digunakan untuk menyebut kerajaan ini, tetap dikenang meskipun wilayahnya mengalami perubahan setelah Cirebon dan Banten memisahkan diri.
Asal Usul Cerita
Melansir dari repositori.kemendikbud.go.id, kisah Mundinglaya Dikusumah awalnya berkembang dari tradisi lisan masyarakat Sunda atau pantun. Cerita ini lalu ditulis para penulis dalam Bahasa Sunda dan Indonesia dalam buku.
Beberapa karya roman yang mengadaptasi cerita ini adalah Pasini Jangji di Muaraberes karya Rohmat Tasdik Al-Garuti, yang diterbitkan dalam tiga bahasa: Sunda, Indonesia, dan Inggris.
Kisah Keluarga Kerajaan Pajajaran
Prabu Siliwangi memiliki dua istri, Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati. Dari Nyimas Tejamantri lahirlah Pangeran Guru Gantangan, sementara dari Nyimas Padmawati lahir Pangeran Mundinglaya.
Perbedaan usia yang signifikan antara kedua pangeran ini membuat Mundinglaya dibesarkan Guru Gantangan, yang sangat menyayanginya.
Namun, perhatian berlebih dari keluarga Guru Gantangan terhadap Mundinglaya menimbulkan kecemburuan, terutama dari anak angkatnya, Sunten Jaya. Konflik keluarga ini menjadi awal dari perpecahan di dalam kerajaan.
Mimpi Permaisuri dan Misi Mundinglaya
Ketika konflik memuncak, Nyimas Padmawati bermimpi tentang tujuh guriang yang tinggal di puncak gunung. Mereka menyebutkan bahwa hanya Layang Salaka Domas, jimat sakral, yang dapat membawa perdamaian bagi Pajajaran.
Prabu Siliwangi segera mengadakan pertemuan besar, memanggil semua pangeran dan bangsawan untuk menentukan siapa yang berani mengambil jimat itu dari Jabaning Langit.
Namun, hanya Mundinglaya yang akhirnya bersedia menjalankan misi ini, meskipun harus menghadapi banyak rintangan. Keberangkatannya tidak hanya menjadi tugas negara, tetapi juga kesempatan membuktikan kebenarannya.
Perjalanan dan Pertempuran
Dalam perjalanan menuju Jabaning Langit, Mundinglaya menghadapi banyak cobaan, termasuk pertempuran dengan raksasa bernama Jonggrang Kalapitung. Namun, Mundinglaya berhasil mengalahkan raksasa dan melanjutkan perjalanan.
Di akhir perjalanannya, ia bertemu dengan tujuh guriang penjaga Layang Salaka Domas. Meski awalnya ditolak, kejujuran dan ketulusan Mundinglaya membuat para guriang luluh, sehingga jimat itu akhirnya diserahkan kepadanya.
Kepulangan dan Keadilan
Ketika Mundinglaya kembali ke Pajajaran, ia difitnah Sunten Jaya. Namun, kebenaran akhirnya terungkap, dan Mundinglaya tidak hanya membawa perdamaian ke kerajaan, tetapi juga mengembalikan keharmonisan kerajaan.
Cerita ini berakhir dengan pelajaran moral tentang betapa pentingnya memiliki keberanian, kejujuran, dan pengorbanan demi kebaikan bersama.
Pelestarian Budaya Sunda
Kisah Mundinglaya Dikusumah adalah warisan budaya Sunda yang kaya akan nilai-nilai kehidupan. Hingga kini, cerita ini masih dihidupkan melalui seni pertunjukan, sastra, dan tradisi lisan masyarakat.