Dakon adalah permainan tradisional yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Permainan ini dapat dimainkan anak-anak laki-laki maupun perempuan, bahkan orang dewasa sebagai sarana rekreasi.
Dilansir dari museum.kemdikbud.go.id, Dakon merupakan alat utama dalam permainan Congklak, biasanya dibuat dari kayu dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 20 cm, dan tebal 10 cm.
Cara Bermain Dakon
Bagian atas papan Dakon memiliki 12 lubang kecil dengan diameter sekitar 5 cm dan kedalaman 3 cm. Lubang-lubang ini berfungsi sebagai wadah untuk biji Dakon, yang bisa berupa biji sawo kecil, sawo manila, atau kelereng kecil.
Namun, jika papan kayu tidak tersedia, permainan ini tetap bisa dimainkan dengan cara menggali lubang-lubang kecil di tanah sebagai arena. Batu-batu kecil sering digunakan sebagai pengganti biji Dakon dalam permainan di atas tanah.
Permainan Dakon melibatkan minimal dua pemain. Setiap pemain secara bergantian mengisi dan memindahkan biji Dakon ke lubang-lubang di papan.
Kesepakatan di antara pemain menentukan jumlah biji yang digunakan. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam aturan permainan, sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan.
Sejarah dan Filosofi Dakon
Melansir dari kompasiana.com, Dakon memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari budaya Indonesia, khususnya di Jawa. Permainan ini diyakini telah ada sejak masa kuno, bahkan ditemukan jejaknya dalam relief candi seperti Candi Borobudur.
Dakon adalah permainan tradisional yang sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu, berasal dari daratan Afrika dan Arab. Permainan ini diyakini dibawa oleh bangsa Arab yang datang ke Indonesia untuk berdagang dan berdakwah.
Seiring waktu, dakon berkembang di berbagai wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di Sumatera, permainan ini dikenal dengan nama congklak atau congkak, sementara di Sulawesi disebut Maggaleceng.
Dakon juga dikenal dengan sebutan yang berbeda di beberapa negara lainnya, seperti Mancala (Inggris), Canka (Sri Lanka), Conkak (Melayu), dan Cunkayon (Filipina).
Menurut Dennys Lombard, istilah “dakon” berasal dari kata daku yang berarti “saya”, yang mengesankan penonjolan ego. Hal ini menggambarkan dakon permainant non-kompetitif, dimana pemain saling berinteraksi dalam suasana bersahabat.
Bukti arkeologis yang mendukung keberadaan permainan ini ditemukan pada tahun 1983 di Pajunan, Banten, berupa bidak congklak terakota yang terbuat dari tanah liat.
Bukti ini menunjukkan, dakon ada sejak zaman dahulu. Pada era kerajaan, dakon dimainkan anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan, sebagaimana dicatat oleh AJ Resink-Wilkens.
Filosofi di balik permainan ini menggambarkan nilai-nilai seperti strategi, kesabaran, dan kerja sama. Dalam konteks budaya, Dakon sering menjadi simbol interaksi sosial.
Permainan ini melibatkan kemampuan berpikir strategis dan keahlian mengelola sumber daya, yang tercermin dari cara pemain menyusun strategi untuk memperoleh kemenangan.
Nilai Edukasi dan Budaya
Dakon tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki nilai edukasi. Anak-anak yang memainkan Dakon belajar menghitung, berpikir logis, dan memahami konsep sebab-akibat.
Permainan ini juga mendorong interaksi sosial dan mempererat hubungan antarpemainnya. Sebagai warisan budaya, Dakon menjadi cerminan kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
Dalam era modern, Dakon sering diproduksi sebagai kerajinan tangan dengan berbagai bentuk dan motif yang menarik, sehingga memiliki nilai seni dan ekonomi.
Dakon merupakan simbol kekayaan budaya Nusantara yang terus relevan di tengah modernisasi.
Upaya untuk melestarikan permainan ini dapat dilakukan melalui pengenalan di sekolah, festival budaya, atau bahkan mempromosikannya sebagai daya tarik wisata. Dengan begitu, Dakon dapat tetap hidup sebagai bagian dari identitas bangsa. (Diolah dari berbagai sumber)