Festival Gandrung Sewu telah masuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) sejak 2023. Pemkab Banyuwangi sendiri telah menggelar event Gandrung Sewu sejak tahun 2012. Gandrung Sewu bukan hanya sebagai simbol kekayaan budaya tapi juga mengajak semua pihak berperan aktif untuk melestarikannya.
Dilansir dari laman kemiren.com, Gandrung adalah sebuah seni pertunjukan Using yang di dalamnya terdapat tarian dan nyanyian. Pertunjukan tersebut yang melibatkan seorang penari perempuan yang menari bersama-sama tamu, terutama pria dengan iringan instrumen musik khas perpaduan Jawa-Bali.
Kata Gandrung memiliki arti tergila-gila, atau terpesona. Makna tersebut ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dalam mitologi Jawa. Tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Kini tarian tersebut terus berkembang yang akhirnya menjadi sebuah seni hiburan bagi masyarakat sekitar. Saat ini, tarian tersebut dipertontonkan saat acara pernikahan, khitanan, atau pagelaran budaya lainnya.
Festival Gandrung Sewu
Seiring dengan perkembangannya, Gandrung tetap muncul sebagai salah satu sajian khas milik Banyuwangi. Kemudian pada tahun 2012, tari Gandrung dikembangkan melalui sebuah kegiatan bertajuk Pagelaran atau Festival Gandrung Sewu.
Festival Gandrung Sewu merupakan gelaran yang menghadirkan tarian khas Blambangan yang dimainkan oleh kurang lebih seribu penari Gandrung. Dalam pertunjukannya, Gandrung Sewu turut menghadirkan teatrikal mini yang menceritakan sejarah Bumi Blambangan beserta Perang Puputan Bayu.
Sejak tahun 2012, Festival Gandrung Sewu mengambil beberapa tema, diantaranya yaitu, Paju Gandrung, tema ini diambil dari satu babak, Paju Gandrung yang dimainkan sebagai cara menyambut tamu. Kemudian Seblang Subuh yang diambil dari tarian penutup dalam pertunjukan Gandrung Terop.
Tarian tersebut berfungsi sebagai ajakan agar kembali setelah pesta pora, dan juga memiliki filosofi untuk selalu mengingat sang pencipta. Tema Padha Nonton yaitu menceritakan kisah setelah satu tahun perang Rakyat Blambangan menghadapi VOC di Songgon.
Lain lagi dengan tema Seblang Lukinto yang bercerita bagaimana rakyat Blambangan mampu melawan para penjajah Belanda tahun 1776-1810. Kemudian tema Kembang Pete, diambil dari berbagai berisan bait dalam Seblang Lukinto, menceritakan bagaimana perjuangan masyarakat Blambangan menggunakan seni budaya.
Di Banyuwangi sendiri, Festival Gandrung Sewu terakhir dilaksanakan di Pantai Marina Boom, pada Sabtu (26/10/2024). Ditarikan oleh sekitar 1350 penari, festival ini sukses memukau ribuan penonton yang datang.
Festival tersebut mengusung tema “Payung Agung” The Diversity of Culture, yang menyajikan menyajikan pertunjukkan seni kolosal yang berkelas dunia. Pagelaran tari kolosal Gandrung Sewu tersebut menggambarkan harmonisasi berbagai suku yang ada di Banyuwangi.
Selain itu juga diceritakan bagaimana upaya-upaya mereka dalam menjaga persatuan saat terjadi konflik. Dimunculkan pula tokoh Umar Moyo yang bijak bestari dalam menjaga harmonisasi hubungan antar suku.
Festival Gandrung Sewu tidak hanya sekadar pertunjukan budaya. Di balik pesonanya, tersimpan sejuta filosofi yang menggambarkan kebersamaan, perjuangan, dan harmonisasi hubungan antar suku. Festival ini tidak hanya melestarikan warisan budaya Banyuwangi, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan. (Ditulis dari berbagai sumber)