Raden Ayu Lasminingrat merupakan tokoh pertama yang gigih memperjuangkan pendidikan kaum perempuan di Indonesia. Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya
Mungkin banyak orang yang lebih mengenal Raden Ajeng Kartini, Raden Dewi Sartika, dan Rahman El-Yunusiyah sebagai tokoh wanita di Indonesia. Padahal, Raden Ayu Lasminingrat merupakan tokoh intelektual pertama di Indonesia yang juga memperjuangkan hak wanita dalam dunia pendidikan.
Tokoh wanita satu ini terlahir dari pasangan Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Lasmi. Lahir dengan nama Soehara pada tahun 1843, semasa kecilnya ia mendapat pendidikan di sekolah Belanda di daerah Sumedang oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman.
Setelah suami pertamanya, Raden Tamtoe Somadiningrat meninggal, Lasminingrat dinikahkan sebagai istri kedua Bupati Garut Raden Djenon (Raden Adipati Aria Wiratanoedatar). Meskipun telah menikah, semangatnya untuk memperjuangkan pendidikan tetap membara.
Perjuangan Lasminingrat
Meskipun terlahir dari keluarga bangsawan, perjuangan Lasminingrat tidak mudah. Perjuangannya diawali dari dunia kepenulisan. Salah satu karyanya yaitu buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid.
Selain itu, ada “Warnasari atawa roepa-roepa dongeng” yang berisi beraga cerita dengan banyak nilai moral yang dapat diambil. Kedua karyanya tersebut telah menjadi salah satu buku pelajaran bukan saja di Garut, tetapi tersebar hingga daerah luar jawa yang diterjemahkan dalam Bahasa Melayu.
Raden Ayu Lasminingrat juga menyadurkan banyak cerita karya Grimm yang popular di Eropa. Tujuan penyadurannya yaitu agar kaumnya dapat membaca karya-karya penulis Eropa tersebut dan mengambil hikmahnya. Kumpulan sadurannya itu kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1875 oleh percetakan milik pemerintah, Landsdrukkerji dengan judul Tjarita Erman.
Setelah menikah dengan Bupati, perhatian Lasminingrat beralih ke bidang Pendidikan, khususnya Pendidikan untuk perempuan. Ia memulainya dengan memberikan dukungan atas berdirinya Sekolah Istri Dewi Sartika di Bandung. Ia adalah tokoh yang meminta kepada suaminya untuk menyampaikan kepada Bupati Bandung agar sekolah tersebut disetujui berdiri.
Pada tahun 1907, ia juga mendirikan Sekolah Kautamaan Istri di Garut. Pendidikan yang diberikan di sekolah tersebut mencangkup membaca, menulis, menjahit, menyulam, dan berbagai keterampilan lainnya. Pada 1911, sekolah ini diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, dan berganti menjadi Sekolah Raden Dwi.
Dengan berbagai perjuangannya tersebut, nama Lasminingrat tidak pernah kedengaran jika dibandingkan dengan R.A Kartini atau Dewi Sartika. Namanya tidak pernah disebut baik dalam sejarah pergerakan kaum perempuan atau Wanita, maupun dalam sejarah Nasional Indonesia.
Namun karyanya tidak ikut tenggelam, tulisannya masih banyak ditemukan sebagai buku bacaan di Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar di Jawa Barat. Disamping itu jejak Lasminingrat masih dapat dilihat dari sekolah hasil perjuangannya. Bangunan sekolah itu oleh pemerintah provinsi telah ditetapkan sebagai salah satu bangunan yang dilindungi dan termasuk kategori Bangunan Cagar Budaya (BCB) di kota Garut.
Lasminingrat sendiri meninggal dunia di usia 94 tahun pada 10 April 1948, jasadnya dimakamkan tepat di belakang Masjid Agung Garut. (Anisa Kurniawati-Berbagai Sumber)