Sate Klathak, kuliner berbahan dasar kambing muda yang diolah dengan cara sederhana ini menjadi primadona bagi wisatawan. Uniknya sajian ini hanya dibakar dengan menggunakan besi dan ditaburi garam, kemudian disajikan bersama dengan kuah santan atau gulai.
Yogyakarta, selain dikenal sebagai kota gudeg juga dikenal dengan sate Klathak nya. Menurut beberapa sumber, pencetus sate Klathak adalah Mbah Ambyah berasal dari Jejeran, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, pada 1940-an.
Mbah Ambyah selaku perintis usaha sate di Jejeran, Wonokromo, membuka warung satenya di Jejeran, Wonokromo, di bawah Pohon Melinjo yang buahnya disebut dengan Klathak. Buah ini banyak berjatuhan di sekitar warung sate Mbah Ambyah, sehingga menu sate tersebut dikenal dengan Sate Klathak Versi lain mengatakan dinamakan sate Klathak karena bunyi “tak…tak…tak” yang dihasilkan dari percikan garam yang ditaburkan ke bara arang.
Keberadaan sate Klathak tidak terlepas dari ide yang memanfaatkan potensi wilayah. Saat itu banyak warga yang memelihara kambing. Sebagai identitas kuliner masyarakat, Sate Klathak ini mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat asal yakni Dusun Jejeran, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret.
Keunikan dari kuliner yang satu ini terletak dari cara pengolahan dan bumbunya yang sederhana. Diolah dengan cara dibakar menggunakan jeruji besi dan hanya dibumbui dengan garam, namun bisa menghasilkan cita rasa yang luar biasa.
Jika biasanya sate dihidangkan dengan bumbu kacang dan kecap, maka kuliner ini disajikan hanya dengan kuah gulai dan irisan cabai. Meski begitu, sate ini menjadi primadona bagi warga lokal maupun wisatawan.
Meski pengolahannya sederhana, teknik yang digunakan harus dilakukan dengan tepat. Kambing yang digunakan haruslah dari kambing muda yang hanya mengonsumsi makanan organik. Kemudian, penyembelihan dan proses pemotongan daging harus bersih serta tidak boleh dicuci. Alasannya karena jika dicuci akan berpengaruh pada rasa dan tekstur.
Penggunaan jeruji besi roda sepeda juga dimaksudkan supaya panas dari proses pembakaran bisa sampai merata ke daging kambingnya. Sehingga meskipun potongannya besar, sate tetap dapat matang dan empuk dengan sempurna.
Sate Klathak umumnya terdiri dari 2 hingga 4 tusuk dalam setiap porsinya. Selain disajikan bersama kuah gulai juga dihidangkan bersama dengan teh jawa cap pecut dan gula batu. Rasa teh yang khas ini menambah cita rasa sate Klathak yang asin gurih dan panas.
Keberadaan sate Klathak bukan lagi sekedar kuliner lezat namun juga menjadi sebuah identitas dan juga mendorong aktivitas sosial kemasyarakatan yang ada di Dusun Jejeran. Banyak kegiatan seperti majelis seaman, majelis mujahadah, dan majelis lainnya yang dapat terus terjaga karena dukungan sosial dan material dari para juragan sate ini.
Secara sosial, Fungsi sosial sate Klathak juga dapat dilihat dari munculnya ruang sosial baru berupa warung sate Klathak. Bagi masyarakat sekitar tempat ini dapat menjadi sarana untuk berkumpul dan berelasi antara satu sama lain. (Anisa Kurniawati-Berbagai sumber)