Daerah Bekasi, Jawa Barat dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara, ternyata menyimpan kekayaan budaya berupa seni bela diri tradisional bernama seni Ujungan. Seni ini unik karena memadukan teknik bela diri, tari, dan musik sebagai bagian dari praktiknya.
Bekasi memiliki kedekatan budaya dengan Sunda, Betawi, dan Banten, mencerminkan pengaruh etnik dominan di sekitarnya. Akulturasi budaya terjadi akibat migrasi besar-besaran dari Jakarta, menghasilkan perpaduan nilai-nilai Sunda dan Betawi.
Salah satu kesenian yang bisa dibilang dipengaruhi budaya Betawi dan Sunda adalah Ujungan. Dikutip dari laman resmi Kabupaten Bekasi, kata ‘ujungan’ sendiri berasal dari bahasa Sunda. Kata ‘jung’ berarti dari lutut ke bawah, berkembang menjadi ujung berarti kaki
Dari beberapa tokoh Ujungan Bekasi mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata Ujung (bongkot, bahasa dialek Bekasi), baik ujung rotan maupun ujung kaki. Di Betawi, ujungan memiliki nama lain seperti Sabet Rotan dan Gitikan.
Di Desa Srijaya, Kampung Gabus, Tambun Utara, kata ujungan diistilahkan dengan Pencug Ujung. Namun, sebagian besar masyarakat Betawi mengenalnya sebagai ujungan. Kesenian bela diri ini dikenal pada tahun 1980 hingga 1990-an.
Praktik Ujungan
Ujungan melibatkan unsur bela diri, tari, dan musik pengiring seperti sampyong (gambang kayu) dan tok-tok (alat bambu seperti kentongan). Tujuannya untuk mempertaruhkan harga diri dan perebutan status sosial.
Pertandingan Ujungan dipimpin seorang wasit yang disebut boboto. Biasanya, boboto merupakan tokoh sepuh yang memiliki kekuatan atau kesaktian diatas rata-rata. Adanya boboto untuk menengahi para petarung yang dapat lepas kendali
Tradisi ini dimulai dengan pemain Ujungan saling berhadapan memegang rotan. Setiap pemain biasanya memiliki teknik pencak silat masing-masing. Rotan yang digunakan berkisar antara 40 hingga 125 sentimeter dengan diameter sebesar lengan bayi.
Saat pertandingan sasaran yang boleh dikenai adalah pinggang ke bawah, di luar area vital. Fokus utamanya, tulang kering dan mata kaki. Menariknya permainan ini, yang perlu diperhatikan adalah ujung rotan dan ujung kaki.
Saat pemain ujungan berjalan ke arena, iringan sampyong (gambang kayu) dimainkan. Lalu pemain akan berjalan mencari penantang. Jika ada yang menerima tantangan, ujungan akan dimulai.
Ketika atraksi ujungan dimulai, iringan musik tok tok dimainkan. Alat ini sebagai pengatur ritme musik pengiring gerakan petarung Ujungan. Di beberapa tempat, tok tok diganti alat musik kecrek.
Pertandingan dimulai sampai ada pemenang kemudian menantang penonton. Begitu seterusnya sampai petarung disebut jawara Ujungan karena tidak ada yang berani menantang. Pada zaman dahulu, ujungan digunakan untuk menyeleksi jawara.
Sempat Dilarang
Selain itu untuk melatih mental perlawanan terhadap penjajah, hingga akhirnya dilarang pada 1960-an karena dianggap sadis. Kini, Ujungan lebih sering ditampilkan sebagai hiburan rakyat. Tokoh yang dikenal sebagai jawara dan pelestari ujungan di Bekasi adalah Abah Natrom.
Selain itu, ada pula Ki Dalih atau panggilan akrabnya Babab Dalih. Ia terkenal merajai Ujungan dari Cikarang, Cakung, Betawi hingga Tangerang di era 1950-an. Ujungan tidak hanya mengandung unsur hiburan, tetapi juga nilai sejarah, persaudaraan, dan sportivitas.
Sayangnya, seni bela diri ini kini terancam dilipuakan, padahal merupakan bagian penting dari warisan budaya Sunda dan Betawi. (Dari berbagai sumber)