Serabi Solo, kuliner yang terbuat dari bahan tepung beras, pandan, vanilla, gula, santan kelapa, dan garam. Biasanya dimasak menggunakan wajan kecil terbuat dari tanah liat dan dipanggang di atas arang. Camilan manis ini sangat populer dan banyak digemari oleh wisatawan.
Pada umumnya, setiap daerah memiliki kekhasannya sendiri. Terdapat serabi kering ada juga serabi basah dengan memakai kuah. Seiring dengan perkembangan zaman, ada pula yang menambahkan topping dengan beragam rasa dan aroma.
Di Kota Solo sendiri, tak lengkap rasanya jika tidak mencoba serabi Notosuman atau orang menyebutnya sebagai serabi solo. Nama Notosuman sendiri diambil dari nama Jalan Notosuman yang sekarang menjadi Jalan Mohammad Yamin.
Serabi solo memiliki tekstur kenyal namun lembut, berbentuk bulat seperti piring kecil dengan sedikit kerak pada bagian pinggirnya, rasanya legit, gurih, dan manis. Camilan ini dibuat dari tepung beras yang dicampur dengan santan kepala, garam dan gula. Kemudian dihidangkan tanpa kuah manis.
Dikenal sejak Kerajaan Mataram
Serabi sendiri diperkirakan sudah dikenal sejak Kerajaan Mataram. Camilan ini beberapa kali disebut dalam Serat Centhini, yang ditulis para pujangga keraton Surakarta selama 1814-1823 atas perintah Pakubuwana V.
Dalam tembang (pupuh) ke-157 bait 18 (1), diceritakan bahwa serabi merupakan salah satu jenis jajanan yang disajikan di halaman rumah pada saat pertunjukan wayang kulit di malam hari. Hal serupa juga disebutkan dalam pupuh 157:7-8 (2).
Pada perkembangannya, serabi mendapat pengaruh dari budaya kuliner India dan Belanda. Jajanan ini merupakan modifikasi dari kue Apem yang kemudian menjadi serabi karena menggunakan santan lebih banyak sehingga menjadi lembut.
Serabi Notosuman
Di Kota Solo sendiri, identik dengan serabi Notosuman. Jajanan ini juga bermula dari kue apem pula yang kali pertama digeluti Hoo Gek Hok dan Tan Giok Lan. Pada 1923 dan membuka gerai di Jalan Veteran, pindah di Jalan Yos Sudarso, dan kemudian menetap di Jalan Mohammad Yamin, Solo.
Menjadi serabi dikarenakan ada pelanggan yang minta dibuatkan apem berbentuk pipih yang kemudian dikenal sebagai serabi. Seiring waktu berlalu, jajanan ini menjadi lebih diminati dibandingkan dengan kue apem. Salah satu ciri khasnya adalah mereka menumbuk sendiri beras yang menjadi bahan bakunya.
Dengan bahan-bahan berkualitas terbaik, tanpa bahan pengawet, hingga kini, serabi notosuman tetap mempertahankan kualitas rasanya. Karena tanpa pengawet, maka serabi ini hanya dapat bertahan satu hari saja.
Usaha keluarga ini kemudian diwariskan turun-temurun. Kini, bisnis serabi notosuman diteruskan kakak-beradik Handayani dan Lidia yang masing-masing mendirikan outlet sendiri. Kedua outlet itu memiliki perbedaan dalam memasak. Outlet milik Handayani memakai tutup wajan dari tanah liat, sementara di outlet milik Lidia memilih memakai tutup dari alumunium.
Untuk tetap menjaga identitas dan karakter yang sudah dirintis Hoo Gek Hok dan Tan Giok Lan, serabi notosuman tetap konsisten membuat dan menjual kue serabi dalam dua rasa: serabi polos dan serabi bertabur coklat. (Anisa Kurniawati- Sumber: indonesiakaya.com)