Bila tari Lengger biasanya ditarikan penari perempuan, di salah satu daerah Wonosobo, yaitu Dusun Windusari, Desa Erorejo, masih eksis penari lengger lanang (laki-laki) bernama Suryadi. Penari lanang ini telah menjadi seniman Lengger selama 15 tahun.
Suryadi mengasah bakatnya secara otodidak. Dimulai setelah keluar pesantren, karena ingin bisa menulis lagu-lagu Jawa, dia kemudian belajar dari kelompok seni angklung.
Dia juga belajar gamelan. Kurang lebih latihan selama tiga bulan, Suryadi mengaku motif awal belajar ingin mencari penghasilan. Di sisi lain, dalam kesehariannya, Suryadi seorang guru mengaji.
“Dari dulunya memang, aku kan jujur saja orang enggak punya. Jadi aku cuma iseng ingin belajar. Siapa tahu nanti bisa jadi bagus buat bisa cari penghasilan.” ungkap Suryadi.
Sinden Dadakan
Diawali menjadi tukang kendang, Suryadi kemudian beralih menjadi penari lengger lanang. Hal itu dilatarbelakangi karena ada penari yang tidak bisa menyanyi. Lalu, Suryadi diminta menyindeni. Dari situlah dia menjadi penari hingga sekarang.
Tidak hanya sebagai penari, Suryadi juga terkadang berperan sebagai sinden. Saat tampil pertama kali dia mengaku merasa malu. Hal ini karena dia harus berpenampilan seperti perempuan
Tak jarang dia sering mendapat ledekan dari penonton. “Itu biasa kalau yang namanya penari pasti sering diledek. Kadang ya ada yang menyanjung. Itu udah wajar dan sudah biasa” jelas Suryadi.
Dalam sekali tampil, Suryadi dibayar sekitar 400 ribu, tergantung siapa yang mengundang. Jika diundang Desa biasanya dari 250 ribu hingga 300 ribu. Dalam memasang tarif, dia bercerita tidak pernah mematok dengan harga tertentu.
Uang yang diperoleh terkadang digunakan untuk membantu para santrinya. Sebagai penari lengger lanang, Suryadi sudah tampil di berbagai daerah. Mulai dari Purworejo, Tegalrejo, Nusakambangan, dan beberapa daerah luar jawa lainnya.

Mengajar Mengaji
Di balik sosok sebagai penari yang anggun dan feminim, Suryadi ternyata juga mengajar anak-anak mengaji. Dalam sehari-hari dia mengajar sekitar 50 santri.
“Tapi yang ngaji sama saya sedikit, paling 50. Kalau musik shalawat, musik rebana, hampir se-kecamatan Wadaslintang saya yang ngajarin. Termasuk sini pun dulu saya yang ngajarin.” kata Suryadi.
Meski memiliki dua dunia yang berbeda, Suryadi tetap mampu menyesuaikan kedua karakter itu. Ketika mengajar mengaji, dia mengaku tidak pernah meminta bayaran kepada santri-santrinya.
Dia menjelaskan bahwa baginya kesenian adalah hiburan dan fokus utamanya tetap mengajar mengaji anak-anak.
Baca juga:Feri Setiawan, Maestro Muda Bundengan dari Wonosobo
Ingin Lengger Lestari
Disamping mengajar mengaji, Suryadi juga sempat mengajar beberapa kesenian. Karena bakatnya, dia pernah diundang mengajar di Kalimantan Barat dan di Kalimantan Tengah. Kesenian yang diajarkan yaitu kuda lumping, kuda Kepang, dan tidak lupa juga mengajari mengaji.
Terakhir, sebagai penari lengger lanang yang telah menekuni bidang ini selama 15 tahun, Suryadi berpesan untuk tetap melestarikan kesenian dan kebudayaan Jawa, khususnya tari lengger.
“Kalau bisa untuk orang-orang yang di luar sana, tolong jangan sampai kesenian kita dihilangkan, harus dilestarikan. Dan juga mau itu pop, dangdut, langgam atau campur sari, ayo kita bareng-bareng melestarikannya, jangan sampai musnah.” pungkas Suryadi.