Salak Bali sudah dikenal eksotis, baik rasa dan terutama metode penanamannya, sehingga Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada pertemuan Globally Important Agricultural Heritage System (GIAHS), Kamis (19/9/2024), menetapkan sistem Agroforestri salak Bali sebagai warisan pertanian dunia. Pengakuan organisasi bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu tak lepas dari sistem budi daya berkelanjutan dan menyatu dengan ekosistem hutan Bali.
Agroforestri merupakan metode pertanian yang mengintegrasikan tanaman pangan, kehutanan, dan hewan ternak di lahan yang sama. Sistem ini memungkinkan interaksi saling menguntungkan antara komponen pertanian dan lingkungan, seperti pengelolaan air, tanah, dan pelestarian biodiversitas.
Agroforestri salak Bali, misalnya, menanam salak di bawah naungan pohon-pohon tinggi yang tidak hanya membantu pengendalian hama alami tetapi juga menjaga kelembapan tanah.
Masyarakat Bali telah lama mengelola lahan dengan teknik pertanian tradisional ini secara turun-temurun, tanpa merusak hutan. Selain menghasilkan salak berkualitas tinggi dan praktik agroforestri ini juga mendukung pelestarian lingkungan.
Selain salak, komoditas yang sering dikembangkan dalam sistem agroforestri termasuk kakao, kopi, dan kelapa. Tanaman ini cocok dipadukan dengan pohon naungan, yang meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan. Agroforestri juga sering digunakan di perkebunan teh dan rempah-rempah.
Kemudian kelompok penasihat ilmiah GIAHS yang memberi masukan ke FAO, sehingga sistem pertanian salak mendapat pengakuan terhormat. Alasannya, agroforestri salak dinilai unik karena memadukan nilai budaya dan keberlanjutan ekologi.
Pengakuan FAO terhadap salak Bali sebagai Warisan Pertanian Dunia menyoroti pentingnya praktik ini dalam menjaga warisan budaya serta mendukung ketahanan pangan di masa depan.
Peluang Ekonomi Dibalik Pengakuan FAO
Salak merupakan buah eksotis yang dikenal bercita rasa khas dan kualitas unggul. Di Indonesia, selain Salak Bali ada jenis salak seperti Salak Pondoh (Yogyakarta) dan Salak Sidempuan (Sumatra Utara).
Dari segi ekonomi, salak menjadi komoditas unggulan ekspor dari Indonesia. Pada 2023, mengutip berbagai sumber, ekspor salak Indonesia mencapai USD15 juta, dengan negara-negara seperti Tiongkok, Thailand, dan Singapura sebagai tujuan utama.
Dari waktu ke waktu, potensi pasar salak pun terus meningkat, seiring dengan minat global terhadap produk pertanian yang ramah lingkungan. Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia meningkatkan nilai ekspor sekaligus mempromosikan pertanian berkelanjutan yang telah diakui dunia.
Dengan pengakuan FAO ini juga, salak Bali berotensi besar meningkatkan ekspor dan memperkuat posisi Indonesia sebagai penghasil salak berkualitas tinggi di pasar internasional. Pemerintah dan petani dapat memanfaatkan momentum ini untuk mendorong pengembangan sistem pertanian berkelanjutan lainnya, baik di sektor buah-buahan maupun komoditas lain yang berbasis agroforestri. (Artikel diolah dari Indonesia.go.id, Foto: Ist)