Papua memiliki banyak sekali cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun. Salah satunya adalah cerita rakyat Sre Saring. Cerita ini mengisahkan tentang anak yang ditelan tempayan ajaib.
Dirangkum dari 10 Cerita Rakyat Papua Terpilih, dan diceritakan kembali oleh Minarsih. Dikisahkan pada zaman dahulu, di Kampung Maribu, Distrik Sentani Barat, terdapat dusun bernama Tarmang.
Di sana, beberapa keluarga dari suku Samtai, Utbete, dan Yansema atau Nya Banu hidup berdampingan dengan damai. Mereka menjalani kehidupan bercocok tanam dan meramu sagu.
Akibat Makan Pisang di Tempayan
Suatu pagi yang cerah, penduduk kampung bersiap untuk memulai aktivitas harian mereka. Salah satu keluarga dari suku Samtai pergi berkebun ke tempat yang cukup jauh. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Saring.
Dia dikenal seorang yang tampan, pemberani, dan menggemaskan. Sebelum berangkat, ibu Saring berpesan kepada neneknya, makanan telah disiapkan jika cucunya lapar sepulang bermain.
Setelah kedua orang tuanya pergi, Saring meminta izin kepada sang nenek untuk bermain bersama teman-temannya. Setelah puas bermain, ia merasa lapar dan segera pulang untuk menikmati makanan yang telah disiapkan.
Kemudian dia beristirahat di bawah pohon, namun muncul keinginan memakan pisang matang.
Ia masuk ke dalam rumah dan mulai mencari pisang tersebut. Setelah mencari di berbagai sudut dapur, ia teringat tempat neneknya biasa menyimpan pisang mentah, di dalam tempayan besar.
Dengan penuh harap, Saring mendekati salah satu tempayan yang paling besar dan bermotif indah.
Ketika membuka penutupnya, ia sangat gembira karena menemukan pisang matang yang diinginkannya. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk masuk ke dalam tempayan agar bisa menikmati pisang tersebut secara diam-diam.
Terjebak dalam Tempayan Ajaib
Namun, seiring beberapa waktu, Saring merasa ada sesuatu yang aneh di dalam tempayan. Panik dan ketakutan melanda dirinya, ia berteriak meminta pertolongan. Neneknya yang sedang beristirahat terkejut dan segera mencari sumber suara.
Ia pun menyadari bahwa cucunya berada di dalam tempayan besar. Namun, hal yang mengerikan terjadi, tempayan itu mulai bergerak sendiri dan semakin menyempit hingga akhirnya menutup rapat. Saring terjebak di dalamnya.
Dengan perasaan putus asa, sang nenek meniup kulit biya untuk memanggil orang tua Saring serta para warga. Kedua orang tuanya yang sedang berkebun tiba-tiba merasakan kegelisahan yang tak biasa. Mereka pun bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, mereka melihat bahwa tempayan telah menelan putra mereka. Warga yang datang membawa berbagai alat seperti kapak batu, parang, dan kayu untuk menghancurkan tempayan itu, namun semua usaha sia-sia.
Bahkan, saat dibakar, tempayan tetap utuh. Benda misterius itu terus bergerak hingga mencapai tepian Sungai Tarmang dan akhirnya menceburkan diri ke dalam air.
Dalam tidurnya, ibu Saring bermimpi bertemu putranya.
Dalam mimpi itu, Saring berkata, “Jangan cari aku lagi. Aku telah berubah menjadi seekor ular, kedua tanganku hilang, dan kakiku kini menjadi ekor. Sebutlah aku Sre Saring, penjaga tempat ini.”
Sejak kejadian itu, masyarakat percaya bahwa jika di Sungai Tarmang ditemukan darah atau benda merah terapung, maka akan terjadi musibah bagi suku Nya Banu.
Legenda ini terus hidup dalam ingatan masyarakat sebagai pengingat akan peristiwa tragis yang menimpa Saring.